Kamis, 23 Oktober 2008

Gender Mainstreaming Peran Ibu dalam Komunikasi Beradab

PEREMPUAN Suara Merdeka, 22 Oktober 2008

GLOBAL movement yang dilakukan oleh kaum ibu yang saat ini lebih dikenal sebagai kelompok feminis bertujuan merumuskan kembali makna keadilan yang dirasakan tidak relevan lagi baik dalam hal pembagian tugas, fungsi, dan perannya dalam masyarakat. Gender mainstreaming sebagai upaya pengarusutamaan kaum perempuan dalam rangka menempatkan secara tepat posisi seharusnya dimiliki oleh kaum perempuan tanpa mengabaikan aspek peningkatan mutu akademik seorang ibu rumah tangga. Karena, dibutuhkan suatu metode akademik tersendiri dalam hal implementasi penerapan atau menangani permasalahan di dalam rumah tangga.

Walaupun hal ini terkesan sepele, seharusnya pemerintah melihat bahwa segala gejolak dan fenomena sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia ini sebenarnya berimplikasi pada psikologis seorang ibu rumah tangga yang disebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi. Melalui pemberdayaan perempuan secara tepat nantinya diharapkan dapat memunculkan tindakan serta perbuatan yang menumbuhkan saling pengertian melalui komunikasi yang beradab. Ini meminjam bahasa Habermas sebagai bonum commune.

Interpretasi peran yang sangat selektif dan sempit telah menimbulkan pengaruh kuat yang membatasi kehidupan kaum perempuan, yang secara tradisi, agama dipersepsikan telah digunakan sebagai alasan untuk menjustifikasi adanya pemingitan kaum perempuan dari proses pendidikan. Pengaruh yang kaku dari para teolog yang konservatif telah memainkan sebuah peran penting dalam mencekik peran pendidikan perempuan selama beberapa dekade dengan cara mempertahankan pendapat bahwa perempuan selayaknya berada dalam ruang lingkup domestik (Jawad, 1983).

Stigma yang kian membudaya (setinggi apa pun jenjang akademis yang ditempuh oleh kaum hawa, bagaimanapun akan ke dapur juga) sudah kian mulai dihancurkan. Anggapan misoginis meligitimasi tindakan pemenjaraan perempuan di dalam rumahnya sendiri untuk menjalani fungsi-fungsi reproduksi yang dipatok di sekitar ”kasur, dapur, sumur”, menggeser penafsiran dengan memasuki penafsiran metamorfosis menjadi stigma negatif ”ibu karier” yang materialistis.

Bukan rahasia umum lagi banyak rumah tangga yang sumber perekonomiannya diupayakan oleh istri. Ini karena penghasilan suami yang minim. Padahal pengeluaran tidak hanya sebatas permasalahan di dapur saja, tetapi biaya sekolah anak, kesehatan keluarga, paguyuban, adanya keinginan dari kaum ibu untuk memiliki barang-barang prestis baik melalui kredit alat rumah tangga sampai barang mewah. Sampai hal tetek-bengek yang sekiranya dirasa tidak penting pun seorang ibu rumah tangga berpikir diperlukan anggaran yang tepat. Terlebih lagi saat ini imbas dari kenaikan harga BBM yang secara otomatis juga mengkatrol kenaikan kebutuhan pokok lainnya. Pada akhirnya yang bisa dilakukan kaum ibu hanya pasrah, mengelus dada, serta mencari alternatif solusi.
Kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan berpengaruh besar terhadap kembang-kempisnya napas kaum ibu. Implikasinya mengarah pada permasalahan sosial ekonomi yang kian terpuruk dan secara otomatis survivalitas kaum ibu semakin tidak dapat dikatakan baik.
Perspektif Gender
Munculnya komunitas pekerja perempuan yang familiar dikenal dengan ”perempuan karier”, yang semakin memperluas dunia pengabdiannya. Bukan saja sebagai ibu rumah tangga (peran domestik), melainkan juga di tengah masyarakat dengan berbagai fungsi dan jabatan (peran publik).
Sebagaimana mengutip Protagoras (485-410 M) ”Man is the measure of all things” (laki-laki menjadi ukuran terhadap segala sesuatu). Laki-laki dikonsepsikan sebagai makhluk reproduktif ketika siklus kehidupannya berkisar di antara fungsi organ reproduksi yang dimilikinya. Acuan seperti ini dapat mengakibatkan marginalisasi, subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan.

Lahirnya gerakan feminisme dan disusul dengan merebaknya isu kesetaraan gender di berbagai tempat merupakan reaksi terhadap patriarkalisasi institusi dalam masyarakat.

Mencermati masalah yang muncul di dalam membahas relasi gender yang tidak berkeadilan, maka akar permasalahan dapat digeneralisasi pada budaya ’’patriarki’’ yang intinya adalah penindasan terhadap perempuan. Budaya patriarki yang mempunyai tiga karakteristik, yaitu dominasi laki-laki (male-dominated), identitas laki-laki (male-identifated) dan kepentingan yang berpusat pada laki-laki (male-centered). Akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan marginalisasi dan subordinasi terhadap perempuan.

Subordinasi perempuan dan dominasi laki-laki dalam masyarakat menurut Allan G Johnson, sebagaimana dikutip oleh Nasaruddin Umar, terjadi karena laki-laki mempunyai banyak akses kepada kekuasaan.
Untuk memperoleh status, mereka duduk di lembaga-lembaga legislatif, dominan di lembaga hukum dan peradilan, pemilik sumber sumber produksi, menguasai organisasi keagamaan, organisasi profesi, lembagañlembaga pendidikan tinggi dan sebagainya. Sementara lain perempuan di tempatkan pada posisi inferior.
Stereotipe Ibu
Mengutip pemikiran Muri’ah (2004), stereotipe merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokkan kaum perempuan. Misalnya stereotipe perempuan sebagai ”ibu rumah tangga ”, bisa merugikan mereka. Tatkala mereka hendak aktif dalam kegiatan yang dianggapnya sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, pembangunan fisik, dianggap menyalahi dari kodratnya sebagai perempuan.

Perempuan meskipun punya peluang berkiprah di sektor publik, ada harga dan persyaratan yang harus mereka ’’bayar’’ untuk kiprah tersebut. Hal ini karena peran reproduksinya tidak dianggap sebagai peran ekonomi (an economic role). Akibatnya perempuan dianggap the second class karena fungsi reproduksinya mereduksi produktivitasnya serta status dan kedudukannya lemah.

Persoalan tidak akan timbul andai pembagian peran-laki-laki bekerja di luar rumah (public sector) dan perempuan di rumah tangga (domestic sector) tidak dimaknai lain. Realitas di masyarakat menyatakan, alih-alih pembagian kerja itu menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga saling melengkapi dan menghormati, yang muncul malah banyak persoalan ketidakadilan bagi perempuan (gender inequalities).

Bila seorang perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga, mungkin itu pilihan pribadi, atau lebih banyak diminta oleh suami, posisi tawar mereka semakin rendah di rumah tangga. Mereka dianggap sebagai beban suami (yang berpenghasilan kurang) karena dianggap tidak memberikan kontribusi apa apa. Karena dianggap beban, maka perempuan harus menerima apa saja perlakuan dari sang suami karena suami telah menanggung hidupnya.

Laporan Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan tahun 2000 menyebutkan 11,4% perempuan (24 juta orang dari 217 juta populasi penduduk Indonesia) mengaku pernah mengalami kekerasan di rumah tangga, tempat yang selama ini dianggap paling aman buat perempuan. (Nurul Maghfiroh, alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta -80)