Minggu, 02 Desember 2007

Pendidikan Ramah Lingkungan

Pendidikan Ramah Lingkungan
Oleh Benni Setiawan*)

Isu pelastarian lingkungan hidup kembali menghiasi halaman depan surat kabar cetak maupun elektronik. Hal ini dikarenakan, Indonesia menduduki posisi ketiga, setelah Amerika Serikat dan China di dalam penyumbang emisi gas rumah kaca. Sekitar 85 persen emisi tahunan gas rumah kaca disumbangkan oleh sektor kehutanan, terutama akibat penebangan liar, pembersihan lahan, konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, dan kebakaran hutan. Bahkan menurut, World Resources Institute 2005, Indonesia berada di urutan teratas penghasil emisi dari kegiatan konversi penggunaan lahan.
Walaupun demikian Indonesia juga diharapkan oleh penduduk dunia lainnya untuk tetap mempertahankan hutan yang tinggal sedikit demi kelangsungan hidup bersama. Indonesia mendapat amanah dunia untuk menjadi pelestari hutan sebagai penyeimbangan kehidupan atau makrokosmos bumi. Lebih dari itu, dengan tetap asrinya hutan Indonesia, dunia akan dapat “terbebas” dari petaka pemanasan global.
Negara utara sekarang ini menekan Indonesia untuk mempertahankan hutan tropisnya agar efek atau radiasi matahari dapat dipantulkan lagi ke angkasa. Walaupun mereka telah terlebih dahulu merusak dan membabat hutannya demi memuaskan hajatan besar industrialisasi.
Terlepas dari agenda tersebut, sudah saatnya bangsa ini bangga dengan amanah yang diberikan. Bangsa Indonesia masih dipercaya dunia untuk menyelamatkan ekosistem bumi yang sudah terancam. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana bangsa Indonesia dapat mengemban amanah kemanusiaan ini dengan baik? Bagaimana pendidikan berperan di dalamnya?

Amanah kemanusiaan
Menyelamatkan hutan dan lingkungan alam dari kerusakan merupakan amanah kemanusiaan. Hal ini dikarenakan, manusia dan makhluk hidup lainnya mendiami bumi sebagai tempat tinggal, mempertahankan hidup dan beranak pinak. Jika bumi rusak maka makhluk bumi pun juga akan punah. Maka dari itu, memelihara bumi agar tetap lestari dan menjadi tempat yang nyaman untuk makhluk bumi adalah sebuah bukti cinta kasih terhadap sesama.
Misi mulia inilah yang wajib diemban oleh manusia sebagai makhluk bumi yang dibekali akal oleh Tuhan. Manusia sebagai makhluk berakal harus mampu mendayagunakan kemampuan yang dimiliki untuk mempertahankan kelangsungan hidup ekosistem bumi. Dengan demikian, manusia dapat disebut sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi.
Jika seorang pemimpin telah dengan sengaja merusak bumi sehingga tidak teraturnya makrokosmos bumi maka predikat sebagai pemimpi sudah saatnya ditinjau ulang. Apalagi merusak tatanan bumi dengan sengaja dan untuk menumpuk kekayaan disertai rasa tamak dan rakus.
Ketamakan dan kerakusan bukanlah sifat seorang pemimpin. Sifat ini lebih tepat disandang oleh makhluk bumi yang tidak disertai (diberi) pikiran dan akal sehat.
Manusia sebagai satu-satunya makhluk yang dibekali dengan pikiran dan akal sehat sudah saatnya bangkit dan melepaskan diri dari belenggu ketamakan dan kerakusan. Manusia sudah saatnya memikirkan bagaimana menyematkan bumi dari kerusakan. Kerusakan bumi pada dasarnya awal dari kepunahan manusia.
Maka penting kiranya manusia mulai memikirkan formula yang tepat untuk menyelamatkan bumi dari kepunahan. Salah satunya dengan mengagendakan pendidikan ramah lingkungan.

Pendidikan ramah lingkungan
Pendidikan ramah lingkungan adalah usaha nyata manusia yang teratur dan terencana dalam menyelamatkan lingkungan hidup sebagai tempat bermukim, mempertahankan hidup, dan meneruskan keturunan.
Pendidikan ramah lingkungan pada dasarnya lebih pada sebuah konsep hidup yang sinergis antara manusia dengan alam. Manusia tidak dapat hidup tanpa alam. Dan alam juga tidak berarti tanpa adanya campur tangan manusia dalam mengolahnya.
Dengan demikian, pendidikan ramah lingkungan harus mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu dengan mengajarkan bahwa pertama, manusia tidak dapat hidup tanpa alam. Dengan penyadaran ini diharapkan dalam mengolah sumber daya alam, manusia tidak bersifat frointer (perusak). Manusia diharapkan mampu mengolah sumber daya alam tanpa harus merusaknya. Hal ini dikarenakan, sumber daya alam terbatas, sumber daya alam tidak dapat diperbarui dan manusia adalah bagian dari alam (Daniel D. Chiras: 1985).
Kedua, dalam pendidikan formal, peserta didik diajarkan bagaimana menghargai keseimbangan makrokosmos bumi. Yaitu, dengan mengintegrasikan setiap pelajaran dengan misi pelestarian lingkungan. Misalnya dalam pelajaran matematika. Jika dalam pembahasan himpunan biasanya dipakai contoh-contoh yang tidak ada relevansinya dengan lingkungan, misalnya 3 kelereng + 5 kelereng = 8 kelereng. Dengan pendekatan integratif menjadi, 3 gajah + 5 gajah = 8 gajah. Mengapa gajah? Karena gajah adalah satwa yang dilindungi. Jadi melalui sistem ini dimasukkanlah aspek lingkungan ke dalam mata pelajaran yang sudah ada. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Prof. Koenadi Hardjosumantri.
Ketiga, aksi nyata manusia untuk tidak merusak ekosistem bumi. Misalnya dengan mengolah sampah organik dan non organik sehingga tidak merusak ekosistem tanah. Dengan demikian, tanah tidak tercemar dan rusak akibat ulah manusia.
Pendidikan ramah lingkungan pada dasarnya adalah implementasinya nyata dari pendidikan etika lingkungan. Pendidikan ramah lingkungan lebih menekankan pada konsepsi filsafat pendidikan yang dimulai dari pemahaman realitas diri dan lingkungan. Sehingga apa yang dilakukan oleh manusia tidak serta merta untuk sekadar menumpuk kekayaan melainkan mampu menjaga keseimbangan ekosistem alam. Hal ini dikarenakan, alam dan manusia adalah entitas yang tidak dapat pisahkan.

Peran Liberatif Agama Memberantas Kemiskinan

Peran Liberatif Agama Memberantas Kemiskinan
Oleh: Benni Setiawan*)

Kemiskinan selalu saja menjadi tema sentral persoalan yang dihadapi negara dunia ketiga. Kemiskinan seakan menjadi hantu bagi masyarakat. Bahkan kemiskinan telah menjadi komuditas politik untuk menaikkan daya tawar (bargaining) sebuah pemerintahan. Pemerintah akan merasa bangga dan merasa berhasil “menyejahterakan” rakyat dengan indikator turunnya angka kemiskinan dan pengangguran. Maka tidak aneh jika angka kemiskinan selalu saja menimbulkan pro dan kontra.
Kriteria rumah tangga miskin, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah: Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m² per orang; Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bamboo/kayu murahan; Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester; Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain; Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan; Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah; Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali seumur seminggu; Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun; Hanya sanggup maka sebanyak satu/dua kali dalam sehari; Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik; Sumber penghasilan kepada rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnyadengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan; Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, terna, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Dengan kriteria yang rigit tersebut maka perlu disangsikan jika penduduk miskin Indonesia berkurang dari 39,30 juta pada tahun 2006 menjadi 37,17 juta pada tahun 2007. Artinya terjadi pengurangan 2,13 juta penduduk miskin atau satu persen dari total penduduk Indonesia selama satu tahun. Sedangkan angka pengangguran menurut BPS turun 384.000 orang, dari 10,93 juta orang pada Agustus 2006 menjadi 10,55 juta orang pada Februari 2007.
Maka yang lebih tepat adalah perkiraan Bank Dunia dengan kriteria penghasilan 2 dolar per hari yaitu jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 124 juta orang atau separo lebih dari jumlah penduduk Indonesia (220 juta).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana agama sebagai way of life (sistem hidup) dapat menyelesaikan persoalan tersebut kemiskinan ini?
Menurut pendekatan konservatif, kemiskinan sebagai gejala nasib. Pendekatan budaya menyatakan kemiskinan sebagai warisan dan mentalitas seseorang. Sedangkan menurut pendekatan structural, kemiskinan sebagai produk struktur yang timpang (tidak adil), yang diciptakan oleh sistem sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Haedar Nashir, dalam perspektif agama (Islam), kemiskinan merupakan kondisi "kedhu'afaan", yakni "dha'if" atau lemah secara ekonomi dan "mustadh'af" atau tertindas secara politik. Sehingga kemiskinan termasuk keadaan lemah secara sosial-ekonomi dan politik sekaligus. Gejala "dhaif" (lemah, jamak: dhu'afa) selalu terkait dengan "mustadh'af (tertindas), yang terkait dengan proses "istidh'af" (proses yang menciptakan kedhu'afaan) dan kekuatan "mustadh'if” (pelaku yang memperlemah atau menindas orang lain).
Jadi kemiskinan berkaitan erat dengan sistem tata pemerintahan yang berwujud ekonomi, sosial dan politik. Bagaimana peran agama dalam membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan?
Agama sebagai sebuah sistem nilai tentunya mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan persoalan ini. Hal ini dikarenakan, agama tidak hanya yang berhubungan ibadah ritual saja, melainkan hubungan antar sesama manusia dan lingkungan.
Islam misalnya. Islam mengajarkan kepada umat manusia untuk peduli kepada kaum miskin. Ancaman bagi orang yang tidak peduli dengan kaum miskin adalah termasuk orang yang mendustakan agama. Hal ini tampak jelas dalam al-Qur'an Surat al-Maun (107) 1-3 yang artinya " Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin".
Bagaimana mengimplementasikan ayat tersebut? Konsepsi zakat misalnya. Perubahan paradigma bahwa membayar zakat hanya sebesar 2,5 kg per tahun dan 2,5 persen untuk zakat mal (zakat harta) sudah saatnya diubah. Orang dengan penghasilan di atas rata-rata atau di atas kriteria BPS di atas harus mengeluarkan zakat lebih. 2,5 kg dan 2,5 persen hanya berlaku untuk masyarakat dengan kriteria miskin dan tidak berlaku bagi masyarakat kaya atau berpenghasilan lebih.
Model penyaluran dengan sistem bagi rata pun perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Maka, model penyaluran harus melihat skala prioritas. Yaitu, beberapa orang miskin dibantu dan dibina dengan pendapatan zakat tersebut hingga mereka dapat mandiri. Program ini akan terasa manfaatnya jika dibandingkan dengan sistem bagi rata. Orang miskin akan terbantu dan mandiri.
Gereja Katholik Roma pun mempunyai cara yang dapat dikatakan jenius dalam memberantas kemiskinan. Program ini disebut dengan "puasa pembangunan". Artinya, jika tahun ini disepakati umat Katholik tidak makan bawang, maka dalam 40 hari mereka tidak memakan dan menggunakan bawang. Dana hasil pengeluaran bawang dalam 40 hari dimasukkan dalam kantong atau kaleng kecil kemudian dikumpulkan kepada Wali Geraja atau yayasan kesejahteraan umat.
Setiap agama tentunya mempunyai kekhasan dan mampu untuk berbuat yang demikian. Ketika agama telah menjadi sebuah sistem dan mampu menjawab tantangan zaman tentunya agama tidak akan terpinggirkan. Artinya, tesis Ernest Gellner (1994) yang menyatakan bahwa agama akan terpinggirkan dalam masyarakat industrialisasi dan globalisasi, tidak terbukti.
Sudah saatnya agama bangkit dan melakukan perubahan dalam sistem sosialnya. Artinya, proses keberagamaan yang selama ini hanya berkutat pada persoalan furu'iyah sudah saatnya diubah. Agama harus dapat menjawab berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat, seperti kemiskinan.
Kemiskinan adalah persoalan yang wajib diselesaikan oleh semua kalangan termasuk di dalamnya agama. Hal ini dikarenakan agama adalah sistem nilai di dalam masyarakat yang melekat dan selalu hidup di tengah perkembangan zaman. Ketika agama tidak lagi menyentuh persoalan-persoalan yang demikian, maka, ia akan ditinggalkan oleh pemeluknya.