Kamis, 25 Desember 2008

Surplus Beras tapi Tetap Miskin

Koran Tempo, 26 Desember 2008.
Khudori, pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian

Menutup akhir tahun 2008, muncul berita gembira: lebih dari 24 tahun menunggu, akhirnya Indonesia kembali bisa surplus beras. Pencapaian ini, seperti klaim Presiden Yudhoyono, cukup membanggakan. Berbeda dengan swasembada beras 1984 yang masih disertai impor beras 414.300 ton, prestasi kali ini bahkan memungkinkan Indonesia mengekspor beras. Presiden merujuk pada Angka Ramalan III Badan Pusat Statistik: produksi padi tahun ini diperkirakan mencapai 60,28 juta ton gabah kering giling (GKG), setara dengan 35,26 juta ton beras. Dengan tingkat konsumsi sekitar 32 juta ton, berarti ada surplus 3 juta ton.

Pemerintah telah menetapkan, ekspor akan dilakukan jika surplus bisa mencapai 3 juta ton beras. Dengan harga rata-rata beras kualitas patah 25 persen saat ini mencapai US$ 464 per ton free on board (FOB), berarti harga beras di pasar dunia setara dengan Rp 5.104 per kilogram, lebih tinggi ketimbang harga pembelian pemerintah (Rp 4.300 per kg). Harga beras dunia yang masih tinggi itu memungkinkan Indonesia meraih surplus ekonomi dari ekspor beras. Jika itu terlaksana, ini sebuah prestasi yang membanggakan, terutama bagi petani.

Sebenarnya, sejumlah pihak ragu pada klaim surplus beras tersebut. Alasannya amat masuk akal: luas lahan dan produksi dilaporkan terus mengalami kenaikan, padahal konversi lahan dengan tingkat masif jalan terus dan pencetakan lahan atau sawah baru amat lambat. Di sisi lain, produktivitas sawah, terutama di Jawa, sudah melandai, bahkan leveling off, karena lahan letih dan terdegradasi kualitasnya. Pencatatan data atau statistik beras/padi kita juga lemah karena data tidak dikumpulkan berdasarkan survei statistik, melainkan lewat pendekatan administratif yang tidak reliable dan besar peluangnya untuk salah.

Terlepas dari keraguan terhadap klaim surplus beras, dari sisi petani sebetulnya prestasi itu tidak membawa dampak ikutan (contagion effect) apa-apa. Mari kita utak-atik angka! Dengan tingkat pertumbuhan rumah tangga petani 2,2 persen per tahun (Sensus Pertanian 2003), saat ini diperkirakan jumlah rumah tangga petani mencapai 28 juta. Dengan asumsi satu keluarga terdiri atas empat orang, berarti jumlah petani mencapai 112 juta jiwa atau 48,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Apabila 60,28 juta ton padi dibagi jumlah petani, masing-masing kepala kebagian 538 kg per tahun. Jika dikalikan dengan harga gabah Rp 2.840 per kg, pendapatan petani Rp 1,527 juta per kepala per tahun atau Rp 4.365 per hari.

Ironisnya, dari tahun ke tahun kemiskinan yang menjerat petani padi ini tidak tersentuh. Menurut survei Patanas terakhir (2006), pendapatan per kapita per hari petani padi Rp 3.065-8.466 (kurang dari US$ 1). Dengan mengacu pada kriteria kemiskinan Bank Dunia (orang dikategorikan miskin bila pendapatan per kapita per hari kurang dari US$ 2), dapat diketahui betapa miskinnya petani kita. Ini juga bukan hal baru. Survei Patanas tahun 2000 sudah menggambarkan betapa ekonomi petani padi berada di tubir jurang: lebih dari 80 persen pendapatan rumah tangga tani disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti mengojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Secara evolutif, sumbangan usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga merosot: dari 36,2 persen pada 1980-an, tinggal 13,6 persen.

Dalam kategori seperti itu sebenarnya bisa dikatakan tidak ada lagi "warga tani", yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu. Jika kemudian pertanian pangan, terutama padi, tak lagi menarik bagi lulusan terdidik, itu adalah dampak ikutan yang logis. Pertanian padi akhirnya identik dengan miskin, udik, dan gurem. Salah satu penyebab hal ini adalah dominannya petani dengan kepemilikan lahan sempit/gurem. Hasil penelitian Departemen Pertanian (2000) menunjukkan, 88 persen rumah tangga petani cuma menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare. Pada 1995 jumlah petani di Jawa yang “tuna-tanah” sebanyak 48,6 persen, meningkat jadi 49,5 persen pada 1999. Meski tidak separah di Jawa, di luar Jawa terjadi kecenderungan yang sama. Pada 1995 jumlah petani tuna-tanah 12,7 persen, meningkat menjadi 18,7 persen pada 1999.

Sejak 2001, insentif harga mendominasi kebijakan perberasan. Dengan mengutak-atik harga, penguasa yakin kesejahteraan petani bisa didongkrak. Bagi penguasa, beleid harga gampang diukur (tangible) dan berdampak seketika: penguasa akan meraih simpati. Padahal, insentif nonharga (non-price factor) lebih mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara berkelanjutan dan sekaligus membangun daya saing industri. Tanpa insentif non-harga, mustahil kebijakan harga bisa berhasil. Insentif non-harga diperlukan agar ada ruang bagi petani untuk merespons kebijakan harga (price creates it own supply). Insentif itu terkait erat dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi.

Hal itu hanya mungkin diwujudkan dengan memberi prioritas kegiatan dan dana guna menekan konversi lahan, kehilangan hasil pascapanen, penggunaan teknologi kapital intensif pada kegiatan panen dan pengolahan lahan, perbaikan kualitas lahan serta irigasi, modernisasi penggilingan padi, riset, dan reforma agraria. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110 ribu hektare, kini naik menjadi 145 ribu hektare per tahun. Bersama fragmentasi lahan, konversi membuat usaha tani kian gurem dan jauh dari skala yang efisien. Reforma agraria tak bisa ditawar agar usaha tani mencapai skala ekonomi.

Tingkat kehilangan hasil panen padi kita masih tinggi: 20,42 persen, setara dengan 6,2 juta ton beras per tahun. Dengan harga beras Rp 4.000 per kg, nilai kehilangan itu setara dengan Rp 24,8 triliun. Rendemen padi kita merosot: dari 70 persen pada 1950-an jadi 62 persen pada 1999. Padahal, tiap penurunan rendemen 1 persen, kita kehilangan beras 0,5 juta ton (Amang dan Sawit, 2001). Penurunan rendemen terjadi karena kehilangan hasil saat penggilingan gabah jadi beras dan akibat pemupukan yang tidak berimbang. Rendemen bisa didongkrak lewat program revitalisasi industri penggilingan padi dan massalisasi pemupukan berimbang.

Infrastruktur irigasi banyak yang rusak. Waduk-waduk besar di Jawa--Jatiluhur, Kedungombo, Gajah Mungkur, dan Bengawan Solo--kian kritis. Sekitar 25 persen jaringan irigasi tak berfungsi dan 35 persen rusak parah. Bagaimana mungkin bisa menanam kalau air tidak tersedia? Temuan varietas unggul baru mandek. Sampai kini sebagian besar petani masih bergantung pada varietas IR-64 hasil rekayasa 1986. Padahal tingkat produksi varietas ini sudah meluruh: dari 8 ton menjadi 6 ton gabah per hektare. Tampak jelas, jalan lempang menyejahterakan petani justru terbentang luas di insentif nonharga, bukan beleid harga. Masalahnya, karena hasilnya tidak seketika, penguasa justru menghindari pendekatan ini.

Rabu, 24 Desember 2008

Lia Eden dan Agama Masa Depan

Koran Tempo, 24 Desember 2008

Syaefudin Simon, mantan pengikut Komunitas Eden

Sastrawan Danarto, sewaktu masih aktif di komunitas Lia Eden, pernah bertanya kepada saya. Seandainya sosok yang mengaku Jibril itu bukan Jibril yang sebenarnya, apa yang akan terjadi pada komunitas Kerajaan Eden? "Bubar. Komunitas Lia Eden tidak ada artinya sama sekali!" jawab saya.

Danarto tampaknya perlu mempertanyakan sosok yang mengaku Jibril yang konon "selalu" menyertai Lia Aminudin dan mendominasi seluruh urusan Kerajaan Eden tersebut. Sosok yang mengaku Jibril inilah yang sesungguhnya menjadi "episentrum" yang mengendalikan jemaah Lia Eden sehingga ketika Jibril memberikan instruksi yang aneh-aneh, seperti menyebarkan surat-surat yang berisi wahyu penghapusan semua agama, anggota Komunitas Eden tak bisa berbuat lain kecuali menaatinya tanpa reserve.

Ketaatan buta terhadap Jibril ini bagi Komunitas Eden adalah sebuah keniscayaan, karena Jibril adalah "tangan kanan" Tuhan dan penyampai wahyu Tuhan kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya . Itulah sebabnya, bila seseorang melanggar perintah Jibril, sama artinya melanggar perintah Tuhan. Bagi para pengikut agama-agama Semit seperti Islam, Kristen, dan Yahudi--meminjam istilah Karen Amstrong--konsekuensi tersebut bisa dimengerti karena Jibril adalah sosok sentral yang menjadi perantara wahyu dan pembimbing para rasul. Tapi sejauh manakah orisinalitas Jibril yang hadir dalam sosok Lia Eden, itulah yang menjadi pertanyaan para pengikut agama-agama Semit di atas.

Dengan latar belakang inilah--di mana Jibril menjadi episentrum Jamaah Lia Eden--kita bisa memahami sepak terjang Komunitas Eden tersebut. Lia Aminudin, seperti diceritakan dalam ceramah-ceramah, risalah-risalah, dan buku-bukunya yang dikirimkan kepada publik, dinyatakan telah dipilih Tuhan untuk memimpin sebuah era baru bahwa umat manusia akan diperintah langsung oleh Jibril melalui sebuah Kerajaan Tuhan (Kingdom of God). Kehadiran Kingdom of God ini, menurut Lia Eden, merupakan penggenapan wahyu Tuhan dalam kitab-kitab sucinya yang pernah dibawa para rasul (Al-quran, Injil, Taurat, Zabur, Veda, Avesta, Tripitaka, Tao The King, Lun Yu, dan kitab-kitab suci yang lain).

Dalam agama Islam maupun Kristen, misalnya, kehadiran Kerajaan Tuhan ini telah lama dibicarakan orang. Dalam Islam, misalnya, ada kepercayaan bahwa kelak di akhir zaman akan muncul Imam Mahdi dan Isa Al-Masih yang akan memerintah umat manusia dengan keadilan yang sempurna. Dalam agama Kristen, kepercayaan seperti itu juga muncul, yakni Yesus akan menjadi raja dalam Kingdom of God yang akan menegakkan keadilan yang sempurna kepada umat manusia.

Membubarkan agama

Menurut "wahyu" yang turun kepada Lia Eden, kekacauan dunia disebabkan oleh konflik-konflik yang muncul dalam umat beragama. Umat beragama dengan keimanan terhadap tuhannya masing-masing telah menyebabkan bumi penuh pertikaian, peperangan, dan ceceran darah. Karena itu, untuk menciptakan perdamaian di dunia, maka faktor penyebab kekacauan itu--yaitu agama--harus dibubarkan. Dalam konteks inilah, mengapa Lia Eden mengirimkan surat-surat yang berisi deklarasi penghapusan agama-agama di dunia. Dalam kaitan ini, agama Islam dituduh sebagai "biang kerok" dari munculnya kekerasan dan terorisme di dunia saat ini. Karena itu, wahyu tentang penghapusan agama pertama-tama ditujukan kepada agama Islam. Setelah itu, agama-agama lain juga harus dihapuskan karena, bagaimanapun, agama adalah faktor pemicu konflik dan kekerasan di tengah kehidupan manusia.

Jamaah Lia Eden sendiri telah lama diperintahkan keluar dari "agama-agama" formal, seperti Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, dan Buddha. Mereka memilih "Bertuhan tanpa agama". Dengan cara demikian, manusia bisa dipersatukan tanpa hambatan perbedaan label keimanan; tanpa hambatan perbedaan label agama yang sering menimbulkan kekacauan dan peperangan.

Bertuhan tanpa agama sebetulnya sudah lama menjadi fenomena keberagamaan modern. Kaum perenialis--yang juga menjadi klaim diri dari Komunitas Eden--telah lama melakukan pendekatan keagamaan seperti itu. Meski demikian, ada perbedaan yang menonjol antara fenomena perenialisme modern dan perenialisme Komunitas Eden.

Kaum perenialis modern merefleksikan keimanannya terhadap Tuhan (yang tak bernama ) dengan memperbesar cinta kemanusiaan (humanisme), menegakkan demokrasi, dan memperjuangkan tegaknya HAM. Kaum perenialis modern adalah orang-orang yang bekerja keras dengan mengedepankan profesionalisme untuk mempertinggi kualitas hidup manusia. Bagi kaum perenialis modern, bekerja untuk mewujudkan cita-cita (tegaknya humanisme, demokrasi, dan HAM) adalah sebuah keniscayaan dalam membentuk dunia baru yang damai dan sejahtera. Tanpa adanya kemakmuran ekonomi, intelektualitas, dan kedewasaan kultural, perenialisme modern tidak akan berkembang. Dengan demikian, demokrasi dan HAM merupakan tujuan utama gerakan perenialisme. Karena itu, jika pun akan lahir agama baru dari rahim perenialisme modern, agama baru itu niscaya akan mengusung demokrasi dan HAM sebagai basis keimanannya. Lebih jauh lagi, seperti ditulis Neale Donald Walsch dalam bukunya yang inspiratif, Conversation with God, agama baru di masa datang haruslah agama yang mengedepankan prinsip-prinsip keimanan untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran. Karena itu, basis keimanan agama masa depan adalah kesadaran manusia terhadap pentingnya penegakan demokrasi, HAM, dan perbaikan lingkungan hidup.

Ini berbeda dengan Komunitas Eden. Di satu sisi, mereka memperjuangkan perenialisme--bahkan secara ekstrem mendeklarasikan pembubaran agama demi tegaknya perenialisme--tapi di sisi lain mereka mendeklarasikan kehadiran Kingdom of God, dengan pemimpinnya "Bunda Maharaja Lia Eden" yang setiap kata-katanya harus ditaati tanpa reserve. Dalam Kingdom of God, prinsip-prinsip demokrasi dan HAM justru dienyahkan. Titah Maharaja Lia Eden sebagai "personifikasi Jibril", yang merupakan "tangan kanan" Tuhan, tak bisa diganggu gugat. Mereka, para pengikut Kingdom of God, hanya tahu satu kata: sami'na wa ato'na (kami dengar dan kami taat) apa yang diperintahkan oleh Sang Raja, betapapun perintah itu tidak rasional, tidak demokratis, dan tidak humanis. Itulah anomali perenialisme Komunitas Eden: gagal merespons dan memberikan perspektif agama masa depan. Kegagalan ini terjadi karena perenialisme yang diusung Komunitas Eden melawan arus peradaban manusia saat ini.

Kita tahu, sejarah kemunculan agama-agama baru di dunia selalu memperbaiki kondisi-kondisi agama yang ada sebelumnya dengan fokus memberikan "penghargaan" terhadap manusia yang makin rasional, dewasa, dan mempercayai kedaulatan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, apa yang dilakukan Komunitas Eden? Mereka lebih mempercayai ramalan-ramalan masa depan, menghidupkan kultus, dan puncaknya meyakini kedatangan Sang Mesiah yang mempunyai otoritas tunggal dalam menyelamatkan bumi dan mengatur kehidupan manusia. Dan Sang Mesiah itu, menurut Komunitas Eden, kini sudah hadir dalam sosok Lia Aminudin.

Dari perspektif inilah kita bisa memahami pertanyaan Danarto di atas. Siapakah sosok yang mengaku Jibril itu jika dia bertindak anomalis terhadap perkembangan dan arus peradaban manusia modern? Bukankah kehadiran Jibril pada masa-masa lalu selalu tepat merespons perkembangan zaman dengan menghadirkan agama-agama yang membebaskan manusia dari kejumudan dan kultus individu? Jibril, dalam Kingdom of God, sayangnya, justru datang dengan isu-isu yang sebaliknya: mengenyahkan demokrasi dan menghidupkan kultus. Sebuah isu yang tidak akan laku dalam komunitas manusia modern saat ini. *

Natal dan Kesetiakawanan Sosial

Opini Kompas, Rabu, 24 Desember 2008.

Ketika krisis global mulai mendera Amerika Serikat, banyak orang belum menyadari bahwa dampaknya bisa sampai ke pelosok Nusantara.

Tiba-tiba harga karet anjlok sampai tinggal sepertiga, dari Rp 9.000-an menjadi Rp 3.000-an. Harga kelapa sawit turun drastis. Bahkan, ada berita, seorang pemilik kebun sawit bunuh diri gara-gara jatuh miskin.

Dampak itu sungguh luar biasa luas dan kian menyengsarakan rakyat miskin. Pemutusan hubungan kerja dan tindakan merumahkan karyawan tak terhindarkan lagi.

Selain krisis global yang dahsyat menerpa, rakyat masih menderita secara ”kronis” karena banjir, tanah longsor, puting beliung, dan bencana lain. Penderitaan itu diperparah dengan demo-demo anarkis yang merusak fasilitas umum, memblokir jalan, serta aksi kekerasan lain yang bisa mengakibatkan kematian dan luka. Itulah kenyataan sehari-hari yang kita hadapi.

Dalam kondisi yang amat memprihatinkan akibat krisis, umat Kristiani merayakan Natal dan bangsa Indonesia baru saja merayakan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional. Tentu kita tak hanya ikut prihatin, tetapi mencari cara bagaimana mengungkapkan keprihatinan itu untuk membantu sesama yang menderita. Natal memberi inspirasi iman dan ajakan moral untuk berbuat kasih. Damai Natal dan kesetiakawanan sosial perlu diwujudnyatakan saat merayakan Natal.

Damai Natal

Slogan ”Damai itu indah” terdengar merdu, tetapi kerap tak mudah diwujudkan. Perjuangan untuk mencapai kedamaian sudah dimulai sejak awal dunia. Kisah Kain dan Habel (Kej 4:1-16) merefleksikan pembunuhan yang merobek kedamaian. Pertikaian antarpribadi atau kelompok serta perang antarsuku dan bangsa berlangsung dari zaman ke zaman. Pemaksaan kehendak dan kesombongan yang menyebabkan penindasan merupakan percik-percik ancaman hidup damai.

Malah pada masa kekaisaran Romawi muncul slogan Si vis pacem, para bellum (Bila Anda ingin damai, siapkanlah perang). Damai dimengerti sebagai situasi tak adanya perang. Jika semua musuh bisa ditaklukkan, itulah damai. Maka berlomba-lombalah negara menyiapkan tentara dan senjata yang kuat. Akibatnya, usaha damai justru memunculkan ketegangan perlombaan senjata.

Kedatangan Yesus membawa paradigma baru, damai harus didasarkan hukum kasih. Konsep damai yang berwawasan perang diganti tindakan kasih. Si vis pacem, para caritatem: bila Anda menghendaki damai, siapkanlah cinta kasih. Itulah misi utama kedatangan Kristus, warta Natal yang bergaung dari kelahiran bayi lemah di tempat yang amat sederhana.

Dengan kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran, serta tanpa paksaan dan kesombongan, warta damai disebarluaskan. Untuk menciptakan kedamaian, tak boleh ada pemaksaan kehendak, apalagi tindak kekerasan. Sebaliknya, dengan kasih dan pengorbanan sampai mati, diciptakanlah suasana persahabatan di antara manusia. ”Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.... Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain” (Yoh 15:13.17).

Solidaritas tanpa batas

Kelahiran Yesus memberi penegasan, Allah memilih mengasihi yang hina. Dengan cara-Nya sendiri, inkarnasi Allah dalam diri Yesus menunjukkan belarasa dan solidaritas-Nya atas penderitaan manusia. Bunda Maria yang mendapat tugas melahirkan Yesus menyampaikan kidung pujiannya: ”Allah melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar...” (Luk 1:53).

Itulah ungkapan solidaritas Allah untuk yang lapar. Bahkan, solidaritas Allah itu tak terbatas pada suatu golongan. Ia membuka sepenuhnya karya keselamatan untuk semua orang. Hal itu sudah dinubuatkan jauh sebelum peristiwa Natal. Melalui Nabi Yesaya disampaikan rencana karya keselamatan-Nya. ”Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa agar keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi” (Yes 49:6).

Solidaritas Allah yang tanpa batas ini pada gilirannya menjadi inspirasi kekuatan moral dan pendorong manusia beriman untuk rela berbagi kepada sesama. Jika setiap orang mengamalkan prinsip solidaritas, bersetiakawan, dan rela berbagi kepada sesama yang menderita, niscaya hidup damai bisa menjadi kenyataan.

Ungkapan solidaritas sosial itu harus nyata dalam tindakan konkret dan dalam perbuatan yang bisa dirasakan oleh yang memerlukannya. Intinya, terungkap dalam Sabda Yesus, ”Sebab saat Aku lapar, kamu memberi Aku makan; saat Aku haus, kamu memberi Aku minum; saat Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; saat Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; saat Aku sakit, kamu melawat Aku; saat Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat 25:35-36). Solidaritas sosial dan hidup damai menjadi dua sisi dari satu keping mata uang kehidupan. Dengan perbuatan nyata, solidaritas sosial menjadi awal signifikan untuk mewujudkan damai sejahtera.

Memberantas kemiskinan

Memperjuangkan hidup damai sejahtera perlu diwujudnyatakan dengan memerangi kemiskinan. Jika kemiskinan lenyap, kesejahteraan akan membuahkan damai. Kemiskinan yang menjadi sumber berbagai konflik dan kejahatan merupakan musuh terbesar perdamaian, utamanya saat terjadi krisis global ini (Paus Benedictus XVI, Pesan Hari Perdamaian Sedunia, 1 Januari 2009, terbit 8 Des 2008).

Kesetiakawanan dalam rela berbagi adalah kunci untuk memerangi penderitaan yang ditimbulkan kemiskinan itu. Pesan Natal yang menggema melalui kata-kata malaikat kepada gembala bisa menjadi tumpuan harapan, ”Jangan takut, sebab sebenarnya aku memberitakan kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:10.14).

Semoga semua rakyat dan para pemimpin bangsa dapat mewujudkan damai sejahtera melalui pelbagai tindakan pemberantasan kemiskinan dan kesetiakawanan sosial di antara kita.

Mgr AM Sutrisnaatmaka MSF Sekjen KWI/Uskup Palangka Raya

Ibu Ruswo, Ibu Pawiyatan dan Penghormatan

Keliling Kota, Kompas Jogja
Rabu, 24 Desember 2008

Ibu Ruswo, warga Yudonegaran, pada zaman kemerdekaan mengoordinasi ibu-ibu kampung untuk menyediakan ransum makanan bagi para pejuang dan menjadikan rumahnya sebagai dapur umum. Rumah yang menghadap ke barat terletak di gang sempit paling timur di Jalan Yudonegaran atau Jalan Ibu Ruswo menjadi saksi kegiatan ibu-ibu memasak dan datang perginya para pejuang yang makan dan mengambil ransum makanan untuk pejuang lainnya.

Lewat gang tersebut masih dapat dijumpai tulisan "ROESWO" di tembok rumah yang kini bertingkat, sedangkan rumah sisi selatan masih dibiarkan seperti semula oleh penghuninya.

Dalam buku-buku sejarah tidak banyak informasi yang menjelaskan peran Ibu Ruswo, siapa Ibu Ruswo, dan sejarah keluarganya. Warga setempat mengetahui Ibu Ruswo bersama Ibu Moeridan, orangtua dari Fardian M Noto yang gugur dalam pertempuran di Kotabaru, aktif menggerakkan ibu-ibu di dapur umum.

Yogyakarta bangga memiliki sosok Ibu Ruswo yang tanpa pamrih, welas asih, memikirkan perut para pejuang. Pejabat wali kota lama pernah memiliki rencana membuat prasasti atau tetenger di rumah bekas kediaman Ibu Ruswo. Ide itu belum terwujud karena pergantian pejabat. Beruntung masih ada tulisan Roeswo di bekas tempat tinggalnya sehingga memudahkan memberi penjelasan jika ada yang menanyakan siapa Ibu Ruwo dan kaitannya dengan Jalan Ibu Ruswo.

Di Yogyakarta ada SMA Ibu Pawiyatan yang letaknya di kompleks Tamansiswa. Mencari tahu siapa atau apa Ibu Pawiyatan akan dengan mudah dijelaskan oleh salah seorang pegawai Museum Dewantara Kirti Griya.

Ibu Pawiyatan bukan nama seseorang atau ibu sebagai pasangan dari bapak. Ibu artinya induk dan pawiyatan berarti pengajaran, pendidikan, atau sekolah. Maka Ibu Pawiyatan artinya induk atau pusat pengajaran atau pusat pendidikan.

Ada kata ibu dan beberapa kata yang bermakna serupa terpampang di ruang publik Kota Yogyakarta, masing-masing memiliki arti dan makna yang berbeda. Ibu Ruswo dan Ibu Pawiyatan ada kesamaan dalam cita-cita, yaitu merdeka dari penjajah dan kebodohan walau caranya berbeda.

Namun, berbeda untuk Mbok Berek, Mbok Sabar, Nyonya Suharti, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, intinya adalah memberi penghormatan dan penghargaan kepada sosok ibu.

ADY PRATAMA Komunitas Anak Bawang

Selasa, 16 Desember 2008

KUD dan Kelangkaan Pupuk

Surya, Senin, 15 December 2008

Pertanyaannya, mengapa sampai hari ini, pupuk masih saja langka? Jawaban pertama dan riil, KUD ternyata “hanya” diposisikan sebagai penonton. Menjadi kios resmi saja sulit. Apalagi, menjadi distributor pupuk.

MEMBACA tulisan Benni Setiawan 'Benang Kusut Pupuk' (Surya, 2/12/2008), menandakan masalah kelangkaan pupuk masih menyisakan berbagai permasalahan yang kompleks. Butuh solusi yang tepat agar pupuk sebagai kebutuhan pokok petani dapat dipenuhi pada setiap musim tanam.


Pada era 1960-an, petani mengenal pupuk, dalam konteks pupuk organik. Sedang pupuk kimia (seperti yang dikenal sekarang) dikenal dengan mess. Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan pemerintah guna memperkenalkan pupuk kimia pada petani saat itu.

Sebetulnya, pemerintah saat itu (era Orba), telah menjalanklan strategi nyata, dengan apa yang disebut “Revolusi Hijau”. Ada ragam pendapat, tapi keragaman itu pada dasarnya, semua mengarah kepada pemberdayaan sektor pertanian, khususnya di negara agraris dan berkembang.

Revolusi Hijau dianggap solusi sekaligus “juru selamat” bagi sektor pertanian, yang bercirikan produktivitas rendah, umur panjang, pertumbuhan rendah dan kesejahteraan petani yang minim. Tanpa Revolusi Hijau, sulit dibayangkan bagaimana produksi pertanian akan mampu memberi makan bagi penduduk yang jumlahnya kian meningkat.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, Revolusi Hijau telah mengantarkan negara tercinta ini, menjadi negara yang berswasembada beras pada 1980-an. Menyitir statemen mantan presiden Soeharto saat berpidato di hadapan delegasi PBB di ultah 40 tahun FAO di Roma tahun 1985, mengenai pupuk, disampaikan juga “...disamping memenuhi kebutuhan pembangunan pertanian, pembangunan industri pupuk itu menghemat devisa yang tidak kecil...” (kutipan dari buku “Pak Harto, Pandangan dan Harapannya”).

Dari revolusi hijau, panca usaha, pembentukan KUD sampai pada pembangunan pabrik pupuk, merupakan suatu mindset integral yang tidak boleh begitu saja terlupakan.
Perubahan drastis pabrik pupuk dan Bulog menjadi sarana pemerintah untuk menyejahterakan petani dan menjadi penyalur beras, perlu ditunjukkan pemerintah. Atau apakah negara tercinta ini sudah tidak lagi menjadi negara agraris?

Laut boleh tidak bertepi namun, dalamnya laut masih dapat diukur oleh manusia. Artinya, tidak ada di dunia ini yang bebas tanpa batas. Apalagi, berkaitan dengan kepentingan petani.
Di sini peran pemerintah sangat penting. Khususnya dalam mengembalikan ke pertanian organik. Seperti pemerintah mengenalkan non organik di sawah petani. Sistem seperti revolusi hijau, sebenarnya sudah harus diciptakan pemerintah apapun namanya.

Yang penting, hajat hidup orang banyak, khususnya petani dapat terpenuhi. Dibarengi dengan strategi konstruktif oleh pemerintah

HM Zainal Arifin SE MM
Direktur Utama Puskud Jatim

Kamis, 04 Desember 2008

Terorisme dan Fundamentalisme

SUARA MAHASISWA, Seputar Indonesia, Kamis, 03 December 2008

AKSI teror di Mumbai India seakan menambah bukti bahwa terorisme belum juga mati. Ia akan tetap hidup bersama kepentingan yang mengitarinya. Namun,terorisme selalu diidentikkan dengan gerakan fundamentalis yang menakutkan dan harus dilawan.

Hal ini dikarenakan ia telah banyak mencederai dan bahkan membunuh jiwa yang belum tentu berdosa. Akar masalah fundamentalis ini juga sering diidentikkan dengan ajaran agama Islam.Padahal,sebenarnya menurut Karen Amstrong,fundamentalisme telah ada sejak zaman dahulu seperti dalam Yahudi,Islam,dan Kristen.

Namun,saya yakin ini tak bisa dibenarkan.Ajaran agama adalah ajaran yang luhur dan berbudi pekerti yang tinggi.Ia tidak pernah mengajarkan kekerasan atau bahkan pembunuhan. Ia mengajarkan kerahmatan atau kedamaian di muka bumi ini. Akan tetapi, mengapa fundamentalis cenderung melakukan hal-hal yang di luar jangkauan agama?kalau tidak mau disebut melanggar ajaran agama itu sendiri?

Penulis beranggapan ada beberapa persoalan yang harus dikaji lebih lanjut.Pertama, ada kepentingan di balik peristiwa peledakan bom yang dikaitkan langsung oleh ajaran fundamentalisme agama.Kepentingan ini sengaja menggunakan legitimasi agama agar segala aktivitasnya tidak mudah diketahui atau dilacak oleh orang lain. Kedua, ada pihak-pihak yang menginginkan hancurnya agama di bumi ini.Artinya,ia tidak menginginkan agama dijadikan way of life umat manusia.

Ia akan mengganti ajaran agamadenganajaran- ajaranlainselainagama.Dengandemikian legitimasi kekuasaan agama akan hilang di muka bumi ini. Pada akhirnya, ajaran agama yang fundamental harus tertanam di dalam setiap jiwa manusia yang beragama. Ia adalah roh dan semangat juang untuk mempertahankan agama dan kepercayaannya itu. Peristiwa-peristiwa aksi bom bunuhdiripadadasarnya saratdengankepentinganyangingin menghancurkan tatanan umat dengan legitimasi agama.(*)

Tommy Setiawan
Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.