Senin, 19 November 2007

Rekonsiliasi Corak Pemikiran Muhammadiyah

Rekonsiliasi Corak Pemikiran Muhammadiyah
Oleh Benni Setiawan*)

Perkembangan pemikiran Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid pada awal dekade ini mengamali kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini tampak sejak kepemimpinan KH Azhar Basyir, Amien Rais hingga Ahmad Syafi'i Maarif. Kemajuan ini ditandai oleh banyaknya generasi yang digawangi kaum muda, seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), al-Maun Institute, Ma'arif Institute dan sebagainya.
Kemunculan beberapa organisasi dan lembaga tersebut di atas dilatarbelakangi oleh kegelisahan kaum muda Muhammadiyah sebagai generasi penerus bangsa dan persyarikan. Dimana kaum muda dituntut untuk lebih berani menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat demi perubahan dan pemihakan.
Lebih lanjut, adanya keterbatasan wadah dalam menyalurkan berbagai potensi mendorong generasi muda untuk berubah. Mengubah citra yang selama ini terkesan "manja" menjadi generasi yang mandiri dan siap berperan dalam banyak hal.
Corak pemikiran dan perkembangan yang dibawa oleh kaum muda tentunya akan berbeda dengan pemikiran golongan tua. Gesekan antar-generasi dan perbedaan cara pandang seharusnya menjadi energi bagi Muhammadiyah untuk selalu eksis di tengah masyarakat yang plural. Perbedaaan cara pandang yang diejawantahkan dalam membangun kemadirian kader Muhammadiyah ini yang akan diangkat dalam tulisan ini.

Corak pemikiran golongan tua
Corak pemikiran golongan tua sering disebut dengan kata fundamentalisme. Artinya, ketika mereka mencoba menafsirkan teks yang terdapat di dalam al-Qur'an dan Hadis lebih mengedepankan metode penafsiran yang tekstual (saklek,), sehingga terkesan kaku dan kurang sesuai dengan perkembangan zaman.
Produk pemikiran yang dihasilkan dalam ranah gerakan tajdid akan terasa literer atau terpaku pada teks suci. Teks suci adalah sebagai peganggan utama yang kebenarannya mutlak sehingga dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar untuk memecahkan segala permasalahan yang timbul. Keterpakuan kepada teks ini seharusnya diimbangi dengan konstektualisasi produk pemikiran.
Teks suci harus mulai diinterpretasikan agar mendapat sebuah produk pemikiran baru yang dapat menjawab permasalahan yang timbul. Teks suci harus berani dikontekstualisasikan dengan keadaan sekarang dengan mempertimbangkan pluralitas keberagamaan dan maslahat bagi umat. Ketika hal ini tidak dilakukan maka, akan terjadi semacam pemisahan yang cukup tajam antara produk pemikiran yang dihasilkan oleh kaum tua dan muda.

Corak pemikiran kaum muda
Kaum muda Muhammadiyah yang sudah menampakkan geliat dalam kancah pemikiran mungkin boleh berbangga diri dengan prestasi yang telah dihasilkannya. Akan tetapi, beberapa catatan penting yang harus selalu dicamkan oleh generasi muda adalah kesinambungan pemikiran antara produk Barat dan produk Islam. Artinya, generasi muda harus pandai untuk mengkombinasikan antara keduannya.
Dengan kata lain generasi muda juga harus memulai mengkaji hal-hal yang sebenarnya telah tersirat maupun tersurat dalam teks suci. Yaitu dengan upaya perbandingan antara produk pemikiran pribadi dengan ulama terdahulu maupun kontemporer dalam membedah kandungan teks al-Qur'an. Generasi muda jangan hanya mengadopsi pemikiran Barat tanpa memahami substansi teks al-Qur'an. Hal ini bertujuan untuk menghindari stigma masyarakat bahwa generasi muda latah dalam menyikapi sebuah persoalan baru.
Generasi muda dengan semangat mudanya seharusnya mulai memformulasikan pemikiran yang khas di tengah banyaknya ragam atau corak pemikiran yang berkembang. Dengan demikian, diharapkan masyarakat mendapatkan pemahaman baru yang benar-benar segar. Keberpihakan kaum muda harus mulai ditampakkan dengan tidak hanya pandai dalam memproduksi wacana tetapi juga dalam dataran praksis. Idealnya kedua hal tersebut berada dalam diri kaum muda sebagai generasi penerus bangsa.
Generasi muda jangan hanya pandai mengkritik dan mencoba mendekonstruksi pemikiran tanpa membangun kontruksi dan melakukan rekonstruksi. Mencoba memproduksi pemikiran baru dalam dunia intelektual sah-sah saja, akan tetapi, bagaimana proses pembentukan pemikiran itu tidak melalui jalan menghujat dan menyalahkan aliran pemikiran lain.
Muhammadiyah harus dapat bekerja sama dengan siapa saja. Demikian pesan Ahmad Syafi'i Maarif dalam Halaqah Tarjih III di Solo pada tahun 2004.
Buya Syafi'i juga menandaskan arti penting diskusi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam intern Muhammadiyah. Sehingga gagasan yang nantinya dikonsumsi oleh masyarakat tidak menjadi tanggung jawab pribadi melainkan menjadi tanggung jawab kelembagaan.
Dengan demikian penting kiranya pesan-pesan moral yang disampaikan oleh Guru Besar Sejarah Pemikiran Islam Universitas Negeri Yogyakarta ini dijadikan sebuah pelajaran bagi siapapun (golongan tua maupun muda) untuk melakukan perdamaian (rekonsiliasi). Pesan moral ini juga berlaku bagi siapa saja yang mengharapkan serta mencita-citakan terciptanya sebuah bangsa yang damai.
Seluruh elemen Muhammadiyah, mulai dari pusat hingga ranting, organisasi otonom (ortom) seyogianya dapat memanfaatkan dan mengoptimalkan forum diskusi untuk merumuskan dan menghasilkan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara kelembagaan. Forum diskusi juga dapat menjembatani perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda.
Maka, disaat usia Muhammadiyah yang sudah senja (95 tahun, 18 November 1912-18 November 2007), rekonsiliasi produk pemikiran menjadi hal yang penting. Hal ini dikarenakan, tantangan Muhammadiyah hari ini bukan hanya masalah intern saja, melainkan persoalan kebangsaan dan internasional yang semakin komplek.

*)Benni Setiawan, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.

Mengurai Benang Kusut Pendidikan

Mengurai Benang Kusut Pendidikan
Oleh Benni Setiawan*)

Tulisan Amat Iskandar, “Reformasi Bidang Pendidikan” (SM, 13 November 2007, hlm 6) yang menanggapi tulisan saya “Sarjana, Kembalilah ke Desa” (SM, 20 Oktober 2007, hlm 6) mengundang saya untuk berkomentar lebih jauh.
Dalam pemahaman saya Amat Iskandar ingin menegaskan bahwa tugas sarjana bukan hanya pulang kampung atau kembali ke desa membebaskan masyarakat dari buta huruf. Tugas sarjana lebih dari itu.
Guna menyelesaikan tugas “kebangsaan” yang berat inilah dibutuhkan para sarjana yang tangguh. Sarjana yang tangguh ini didapatkan dari sistem pendidikan yang tertib dan terencana. Dan pada akhir tulisan Amat Iskandar menyatakan penting kiranya guru dan dosen disejahterakan. Hal ini dikarenakan, mereka adalah ujung tombak jalannya sistem pendidikan nasional.
Membicarakan sistem pendidikan nasional memang pelik. Selalu saja ada hal baru muncul mengiringinya. Contohnya, persoalan bongkar pasang kurikulum pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bersama, kurikulum akan selalu berganti menurut selera menteri baru. Lebih dari itu, bongkar pasang kurikulum hanya dijadikan proyek orang-orang tertentu untuk menggelembungkan dana, yang pada akhirnya dikorupsi untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Seringnya bongkar pasang kurikulum ini tentunya sangat menganggu aktivitas pendidikan. Banyak guru yang kewalahan menghadapi apa yang diminta pusat. Bahkan ada seorang kepala sekolah SD di Magelang Jawa tengah yang secara kebetulan bertemu dengan penulis beberapa bulan lalu menyatakan tidak bisa mengerti apa yang diinginkan pengambil kebijakan. Ia harus membuat model rapor (buku laporan pendidikan) sendiri, kurikulum dan bahan ajar sendiri dan seterusnya. Mereka juga harus berhadapan langsung dengan orangtua wali murid yang enggan untuk membayar uang pembangunan (gedung) di tengah usia gedung yang sudah uzur dan siap ambruk.
Di sisi lain pemerintah pusat hanya menyediakan dana Rp 48,3 triliun, atau 5,7 persen dari total belanja pemerintah yang sebesar Rp 836 triliun. Dana ini hampir mendekati anggaran pelaksanaan pemilu 2009 yang diajukan komisi pemelihan umum (KPU) sebesar 45 triliun.
Belum lagi persoalan implementasi UU Guru dan Dosen. Masih banyak guru dan dosen yang hidup pas-pasan. Gaji mereka bahkan di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK). Maka tidak heran jika banyak guru dan dosen harus menjadi pemulung, tukang becak, tukang ojek dan seterusnya. Maka tidak aneh jika Winarno Surakhmad menulis puisi sindiran kepada pemerintah mengenai nasih mereka.
Winarno Surakhmad menulis; Di sini berbaring seorang guru; Semampu membaca buku usang; Sambil belajar menahan lapar; Hidup sebulan dengan gaji sehari. Sontak puisi ini membuat wakil presiden Jusuf Kalla berang.
Pertanyaannya, melihat kondisi yang demikian apakah reformasi bidang pendidikan dapat berjalan lancar tanpa bantuan orang-orang terdidik termasuk di dalamnya seorang sarjana?
Sistem pendidikan yang dirancang oleh orang-orang Jakarta memang cukup ideal. Akan tetapi, masih banyak hal yang perlu dikoreksi sehingga dapat diimplementasikan dengan baik di daerah.
Potensi sumber daya manusia di daerah memang beragam. Dan ini tidak dapat dielakkan. Potensi yang beragam inilah tentunya yang perlu diolah sehingga menghasilkan sesuatu yang baru. Hasil kreasi dari daerah sudah disaatnya menjadi salah satu “senjata” dalam mengurai benang kusut pendidikan.
Ambil contoh, beberapa orang yang mempunyai ilmu lebih dapat membuat kelompok belajar. Kelompok belajar ini dapat menjalankan misi pendidikan dengan program home schooling, sekolah rumah. Sekolah rumah yang murah dan mudah ini dapat mengurangi kepenatan peserta didik yang harus merampungkan bahan ajar sesuai kurikulum nasional. Dengan memberikan pendidikan dan pelatihan secukupnya peserta didik dapat menjadi mandiri dengan bekal potensi masing-masing.
Demikian pula dalam menyejahterakan pendidik (guru dan dosen). Pemerintah sudah saatnya membuat aturan yang mudah. Artinya, syarat sertifikasi guru dan dosen yang ndakik-ndakik sudah saatnya diubah menjadi lebih sedehana dan mudah dimengerti. Lebih lanjut, guru-guru yang telah mempunyai usia pengabdian di atas sepuluh tahun juga penting kiranya diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Bukan mereka yang baru satu dua tahun mengajar diangkat menjadi PNS karena faktor kedekatan dengan Kepala Dinas.

Tidak ada gunanya
Reformasi bidang pendidikan tidak akan ada gunanya jika tidak ada kesinambungan gerak atau peran serta kebijakan di daerah. Hal ini dikarenakan, aksi nyata pendidikan bukan terletak pada pengambil kebijakan di tingkat pusat, melainkan menjadi tugas “kader” pendidikan di daerah.
Lebih lanjut, kebijakan-kebijakan dari pusat pun penting kiranya memperhatikan aspirasi dari daerah. Kebijakan yang top down (atas ke bawah) hanya akan mengerdilkan peran serta masyarakat daerah. Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan tersebut menjadi tidak popular dan tidak berdayaguna.
Persoalan pendidikan yang rumit ini tentunya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, melainkan peran serta warga masyarakat termasuk di dalamnya kaum cerdik pandai (sarjana).

*)Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia, dosen Universitas Muhammadiyah Jember asal Sukoharjo.

Kamis, 08 November 2007

Nyekar dalam Bingkai Keluhuran Budi

Nyekar dalam Bingkai Keluhuran Budi
Oleh Benni Setiawan*)

Setiap menjelang bulan puasa dan pascalebaran, ada tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat Sunda, Jawa Barat. Salah satu tradisi itu adalah nyekar. Nyekar biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa Barat dengan cara menziarahi dan mendatangi makam.
Secara etimologis, sekar berarti bunga. Itu sebabnya, mereka yang nyekar selalu membawa bunga. Menurut guru besar Kopertis Wilayah IV, Asep Sjamsubachri, bunga digunakan dalam nyekar karena merupakan simbol keindahan, keharuman, dan kecintaan. Sebagai simbol, bunga hanyalah media. "Perlengkapan" utama tetaplah doa bagi orang-orang terdekat yang lebih dulu dipanggil Sang Khalik (Kompas edisi Jabar, 20/10/2007).
Dalam tradisi nyekar biasanya anggota keluarga mulai dari orangtua, anak, cucu diajak. Mereka diajak untuk mengenang leluhur atau garis keturunan keluarganya. Maka tidak aneh jika tradisi nyekar ini dijadikan ajang “reuni” keluarga besar. Sanak keluarga yang jauh di perantauan pun diwajibkan untuk pulang.
Tradisi ini juga menjadi wahana saling maaf-memaafkan kesalahan di antara anggota keluarga selama satu tahun. Hal ini dikarenakan, bagi masyarakat Jabar sebelum memasuki dan menjalankan aktivitas pada tahun berikutnya setiap manusia diharapkan bersih dari dosa atau kesalahan antar-sesama. Dengan demikian ia dapat dengan tenang (khusuk) menjalankan aktivitasnya dikemudian hari.
Dalam tradisi Islam, nyekar sering disebut ziarah (mengunjungi). Ziarah menurut ahli fiqh dihukumi sunnah. Salah satu misi penting ziarah adalah mengingatkan bahwa manusia akan mengalami kematian. Dengan demikian, ia akan selalu berbuat baik kepada sesama makhluk Tuhan dan Khaliqnya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa relevansi antara nyekar dan keluhuran budi?

Keluhuran budi
Pengertian luhur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang mulia. Hal ini tampak pada contoh (1) Demi cita-cita yang luhur, kami bersedia mengorbankan jiwa dan raga. (2) Anak itu selalu berupaya meluhurkan orangtuanya; dan (3) Keluhuran budinya membuat setiap orang menghormatinya. Kata luhur pun tidak dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat kognitif, namun dikaitkan dengan jiwa. Pengertian jiwa dapat meliputi seluruh totalitas hidup seseorang.
Pengertian di atas mengajarkan kepada kita bahwa keluruhan budi adalah sesuatu yang mulia dan meliputi seluruh totalitas hidup manusia. Dengan perilaku yang mulia (luhur) manusia akan mudah bergaul dengan sesama manusia. Lebih dari itu, ia akan dapat dengan mudah menjalankan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Keluruhan budi tidak hanya tercermin dari seringnya ibadah atau mengunjungi Masjid, Gereja dan seterusnya. Keluhuran budi dapat tercermin dari perilaku atau hubungan sesama manusia.
Contohnya, dalam tradisi nyekar. Tradisi nyekar mengajarkan kepada kita untuk berperilaku baik dan selalu mengenang leluhur keluarga. Selain itu, dalam tradisi nyekar kita diajarkan untuk selalu menyambung tali silaturahmi. Saling mengenal sesama anggota keluarga dan mempererat hubungan darah.
Perilaku saling mengenal sesama anggota keluarga di era modern ini semakin luntur kalau tidak mau disebut hilang. Manusia modern selalu saja disibukkan oleh urusan dunia atau mencari kekayaan. Melalu tradisi nyekar kita sejanak diajak untuk istirahat dan merenung dalam kesumpekan duniawi.
Nyekar dapat menyadarkan kita bahwa manusia hidup akan mati. Kehidupan di dunia ini tidak kekal. Dan yang kekal hanyalah amal kebaikan (keluruhan budi) yang selalu dikenang oleh anggota keluarga dan masyarakat. Lebih dari itu, keluhuran budi adalah buah kebaikan yang akan menyelamatkan manusia di alam baka.
Lebih lanjut, tradisi nyekar mengajarkan manusia untuk selalu bersikap optimis. Walaupun pada saatnya manusia mati, ia tidak boleh hanya berserah dan pasrah pada garis atau takdir hidup. Manusia diajarkan untuk selalu berusaha dan banyak beramal untuk bekal di kehidupan nanti.
Bekal inilah yang wajib dibawa oleh setiap manusia. Sebagimana pepatah “Gajah mati meninggalkan belang, Manusia mati meninggalkan nama dan amal kebaikan”. Sebelum manusia harus menghadap Sang Khaliqnya, ia harus banyak beramal saleh.
Amal saleh ini juga diajarkan dalam tradisi nyekar. Sudah menjadi adat jika di setiap makam akan banyak orang yang meminta bantuan untuk sekadar mempertahankan hidup. Nyekar belum lengkap tanpa memberi sedekah kepada orang-orang yang tidak mampu. Walaupun di makam tidak ada “pengemis”, anggota keluarga diwajibkan untuk bersedekah dengan memberi makan fakir miskin di lingkungannya. Ia juga diwajibkan untuk memasukan uang infak dalam kotak yang ada di depan makam, untuk biaya perawatan makam dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Ironisnya, keluruhan budi dalam tradisi nyekar ini sekarang sudah banyak dihilang dalam tradisi masyakarat Sunda. Generasi muda sudah tidak tahu apa makna di balik nyekar. Ia hanya tahu bahwa nyekar adalah tradisi ziarah dan mengunjugi makam nenek, kakek atau orangtuanya. Tidak lebih dari itu.
Maka sudah selayaknya, orangtua mengajarkan kearifan budaya lokal ini kepada anak-anaknya. Tradisi nyekar akan selalu dikenang dan menjadi nilai keluhuran budi jika masyarakat menyadari dan tahu maknanya. Tanpa ada yang bertutur atau memberi piwulang, tradisi ini hanya akan menjadi “sejarah” dalam perjalan kehidupan manusia.
Dengan demikian, nyekar dalam bingkai keluhuran budi mengajarkan arti penting berfikir rasional yang kritis, inovatif dan imajinatif. Menggugah kesadaran bawah sadar bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa adanya garis keturunan dan orang lain, dan menggugah kesadaran hati nurani untuk peduli kepada sesama dengan melakukan derma dan pertolongan.

*)Benni Setiawan, Pemerhati Budaya.

Saatnya Kaum Muda Memimpin

Saatnya Kaum Muda Memimpin

Oleh Benni Setiawan*)


Pemuda adalah tulang punggung bangsa. Pemuda adalah generasi penerus cita-cita perjuangan dan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Di tangan pemudalah bangsa dan negara dipertaruhkan. Maka tidak salah jika ada adagium, “ketika pemuda rusak moralnya maka robohnya bangsa ini”
Mengingat keutamaan pemuda di atas, sudah sewajarnya jika pemuda mempunyai tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang baik. Salah satunya dengan melanjutnya estafet kepemimpinan nasional yang saatnya ini dikuasai oleh kaum tua.
Sejarah mencacat bahwa kemerdekaan yang selama ini kita nikmati adalah jerih payah kaum muda. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari mendirikan Muhammadiyah dan NU saat usia mereka masih relatif muda. Demikian pula dengan Budi Oetomo, WR Supratman, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan lainya adalah tokoh muda yang berada dalam garis terdepan kemerdekaan bangsa ini.
Usia mereka tidak lebih dari 40 tahun. Mereka mempunyai semangat juang dalam memerdekaan bangsa dan negara dari penjajah. Ketika mereka di penjara pun, aktivitas kepemudaan seperti menulis dan diskusi menjadi hal yang biasa. Maka tidak aneh jika Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Pram menulis buku-buku yang menjadi sejarah di balik jeruji besi.
Ketika mereka menjadi pemimpin pun, semangat kebangsaan pun selalu menjadi panglima. Ketika kedaulatan bangsa mulai dilecehkan, maka Soekarno dengan lantang menyerukan “Ganyang Malaysia”. Hal ini tentunya berbeda dengan pemimpin Indonesia saat ini. Mereka tidak mempunyai nyali untuk menyatakan perang melawan kesewenang-wenangan Malaysia, walaupun sudah banyak korban berjatuhan di sana.
Pemimpin tua Indonesia saat ini sudah saatnya lengser keprabon (turun tahta). Sudah saatnya estafet kepemimpinan bangsa ini diserahkan kepada kaum muda yang mumpuni. Artinya, kaum muda yang benar mempunyai semangat untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negaranya.
Pemuda yang mempunyai “ilmu linuwih” (ilmu pengetahuan tinggi) ini sudah saatnya tampil kemuka memperkenalkan dirinya. Jangan sampai kesempatan langka ini hilang begitu saja. Semangat kebangsaan kaum muda harus mulai ditumbuhkan untuk dapat memimpin bangsa besar ini. Soekarno dan Hatta adalah tokoh muda yang telah mempersiapkan diri untuk memimpin bangsa ini. Yaitu dengan pendidikan, perjuangan dan kerja keras.
Ketika pemuda tidak mempersiapkan dirinya dengan baik, maka tampuk kekuasaan sampai kapan pun akan menjadi milik kaum tua. Pertanyaannya bagaimana pemuda mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik?

Kesadaran untuk belajar

Pertama, kesadaran pemuda untuk mau belajar. Belajar adalah aktivitas sepanjang masa. Belajar tidak mesti dalam bentuk formal di sekolah maupun perguruan tinggi. Belajar dapat dilakukan di luar sekolah, seperti orang lain, lingkungan dan alam. Hal ini sesuai dengan petuah Bapak pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. “Jadikanlah semua tempat sekolah dan semua orang guru”. Petuah sederhana dengan penuh makna.
Belajar tidak mesti diformalkan dalam bentuk gedung-gedung sekolah. Kita dapat berlajar dimana saja dan kapan saja. Kita dapat belajar dari alam yang banyak mengajarkan arti kearifan, dan orang lain yang mengajarkan arti pengalaman hidup.



Gemar membaca dan menulis

Selanjutnya adalah aktivitas membaca dan menulis. Aktivitas membaca akan membuat pemuda menjadi cerdas. Membaca adalah jendela dunia. Dengan membaca pemuda akan mampu menangkap dan menganalisis apa yang terjadi. Tanpa membaca seseorang akan menjadi buta realitas. Yang pada akhirnya, ia akan mudah untuk dijajah oleh kepentingan asing.
Selain membaca pemuda Indonesia harus bisa menulis. Menulis adalah aktivitas yang melibatkan banyak indera. Indera mata untuk melihat, tangan untuk menggerakkan, otak untuk berfikir dan seterusnya. Dengan menulis seseorang akan terhindar dari kepikunan. Hal ini dikarenakan menulis akan dapat meningkatkan daya ingat dan memori yang ada di dalam otak.
Aktivitas menulis juga dapat digunakan untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat. Menulis juga sebagai “protes” terhadap kemapanan dan penindasan yang dilakukan secara sistematis oleh sistem negara (pemerintah). Dengan menulis seseorang akan dapat dikenal dan ide-idenya akan menjadi acuan gerak bagi orang lain. Dan inilah yang dilakukan oleh pemuda di era tahun 1930an.

Tidak apriori

Kedua, tidak apriori terhadap partai politik. Sebagaimana mencuat dalam diskusi “Ancaman Grontokrasi dan Proses Kepemimpinan Muda” di Gedung Pers (2/8/2007). Menurut Lili Romli, kalangan muda diminta tidak meninggalkan atau menjauhi partai politik karena walau bagaimana pun elemen itu adalah elemen terpenting dalam demokrasi.
Sayangnya, katanya lebih lanjut, banyak anggapan untuk meninggalkan parpol sehingga malah memberi kesempatan bagi orang-orang yang tidak berkualitas, seperti para “preman politik” untuk masuk (Kompas, 4/08/2007).
Ketika telah ada kesadaran pemuda untuk tidak apriori terhadap parpol, harus ada pembenahan yang memadai dalam tubuh parpol. Diantaranya pentinya regenerasi. Menurut Kholis Malik dalam Imam Subhan (2003), strategi revitalisasi kaderisasi partai politik dapat dilakukan dengan cara: pertama, merubah karakter relasi internal partai menjadi lebih demokratis. Pada pengorganisasian partai yang kompleks, kewenangan dan struktur pengambilan keputusan semakin memusat pada petinggi-petinggi partai. Ini berarti bahwa dalam partai politik sendiri partisipasi para aktivis level bawah, apalagi para anggota sangatlah kecil.
Langkah demokratisasi internal partai ini pada dasarnya akan memberikan penguatan pada ”fungsi” partai politik. Bila ini telah ditempuh barulah partai politik dapat memulai langkah pendidikan politik ke sektor yang lebih luas, misalnya kepada para simpatisan dan akhirnya rakyat umum.
Kedua, mengorientasikan diri menjadi partai dengan program bersifat terbuka. Konsekuensi logisnya, partai politik dituntut untuk lebih banyak menawarkan program dibanding sekadar sentimen ideologi. Kompleksitas problem yang dialami masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan lingkungan sangat tidak mungkin disekat ke dalam faksi-faksi ideologis karena seluruh masyarakat mengalaminya. Kepentingam program riil ini bukanlah diorientasikan untuk menomorsatukan fakta-fakta nyata (empirik) dibandingkan aspek nilai dan moral, melainkan untuk memberikan ruang masyarakat agar dapat mengkritisi secara langsung kebijakan parpol. Hal ini memungkinkan masyarakat lebih otonom dan partisipatif. Bagi parpol langkah ini bermanfaat untuk memperkuat ”peran” di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, menghentikan kebijakan reaksioner yang menghalangi partisipasi rakyat secara langsung. Berbagai kecenderungan partai sentris yang melalaikan kepentingan rakyat muncul pada beberapa agenda utama reformasi, seperti dalam amandemen UUD 1945 dan penyusunan UU Pemilu dan Sistem Kepartaian, menunjukkan adanya gejala reaksioner pada partai-partai politik utama. Ketakutan memberikan lebih banyak kewenangan pada masyarakat bersumber dari rasa kurang percaya diri kalangan parpol.
Karenanya kebijakan reaksioner ini mestinya dievalusi atau malah dihentikan sama sekali. Partai-partai poltik harus berani membuka diri pada kemungkinan membesarnya kesempatan partisipasi rakyat secara langsung dalam pengambilan keputusan maupun kontrol politik.
Dengan berbekal kemampuan yang selalu diasah dengan belajar, kaum muda harus menjadi pioner parpol yang masih dikuasai oleh kaum tua. Proses regenerasi parpol harus diisi oleh pemuda yang mempunyai semangat dan kelebihan untuk mau selalu belajar.
Regenerasi parpol juga berarti regenerasi kepemimpinan bangsa. Kepemimpinan bangsa yang diisi oleh kaum muda akan membawa perubahan yang berarti. Dengan dipegangnya estafet kepemimpinan oleh anak-anak muda maka bangsa ini akan siap bersaing dengan bangsa lain sebagaimana terjadi pada masa kepemimpian Soekarno, Hatta, dan Syahrir.



*)Benni Setiawan, Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera.

Mengembalikan Hakikat Agama

Mengembalikan Hakikat Agama
Oleh: Benni Setiawan*)

"Kebenaran adalah apa yang ditertawakan" (Jean Baudrillard).

Umat beragama di seluruh Indonesia patut bersedih dan merasa malu. Mengapa? Hal ini disebabkan, umat beragama di Indonesia sepertinya tidak pernah mau belajar dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi.
Contohnya, penyerangan markas Ahmadiyah di Parung Bogor beberapa waktu yang lalu. Penyerbuan kelompok Madi di Sulawesi yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Pembubaran Shalat dua bahasa yang dilakukan oleh Yusman Roy di Jawa Timur. Penyoalan logo atau kalimah Tuhan oleh group Band Dewa.. Ajaran keselamatan yang dipimpin oleh Lia Aminuddin, dan baru-baru ini Ahmad Mussadeeq dengan al Ma’ud nya.
Ahmad Mussadeeq yang mengaku nabi baru yang telah menerima wahyu dari Jibril setelah bersemedi 40 hari 40 malam dan mempunyai pengikut lebih dari 50.000 orang dinyatakan sesat oleh Majalis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan di beberapa daerah pengikut al Qiyadah al Islamiyah ini dihajar oleh kelompok umat Islam lain.
Kelompok-kelompok dengan perilaku "menyimpang" di atas di hukumi haram dan sesat oleh sebagian umat yang lain. Mengapa mereka dibenci dan cenderung di musuhi?
Setiap ajaran agama yang ada di muka bumi pasilah baik. Kebaikan ini dapat ditunjukkan dengan ajaran kerahmatan (kasih sayang), berbuat baik antar sesama, tolong menolong, dan seterusnya. Agama manapun di muka bumi ini selalu mengajarkan kebaikan kepada umatnya.
Ketika agama menjelma kedalam kehidupan masyarakat yang tampak (seharusnya) adalah kerukunan dan kebebasan untuk mengepresikan kebergamaannya itu. Hal ini dikarenakan, agama menyangkut keyakinan yang tidak kasat mata.
Agama adalah keyakinan yang diyakini kebenarannya dan dengan menjalankan segala perintah Tuhan, maka ia akan mendapat balasan kebaikan dari Nya. Sebaliknya jika manusia berbuat kejahatan, maka ia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal dari Tuhannya.
Perilaku keagamaan seperti ini tampaknya belum dipahami oleh umat beragama di Indonesia. Umat beragama di Indonesia masih berkeyakinan bahwa agama yang diakui dan ada di Indonesia adalah Islam, Katholik, Protestan, Hindhu, Buddha.
Islam beribadah di masjid dengan serangkaian ibadah lainnya seperti shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji. Umat Khatolik dan Protestan beribadah dan menjalankan perintah Tuhan di Gereja dengan serangkaian aktifitas suci seperti misa dan kebaktian. Demikian pula dengan umat Hindhu dan Buddha yang beribadah di Pura dan Wihara. Mereka melakukan meditasi guna mendekatkan dirnya kepada Sang Hyang Widi (Tuhan Yang Maha Esa).
Umat beragama di Indonesia belum dapat menerima jika ada umat yang se-agama melakukan bentuk peribadatan yang berbeda sebagaimana umumnya. Mereka beranggapan bahwa selain peribadatan dan tata cara yang sudah lazim, berarti bukan (minna) dari agamanya.
Tidak hanya itu, mereka berani mengambil ijtihad hukum untuk mengkafirkan dan menyesatkan perbedaan tersebut. Mereka tidak pernah berfikir bahwa apa yang telah dilakukan seperti Yusman Roi dengan dua bahasa, Lia Aminuddin, Ahmad Mussadeeq adalah bukti peribadatan lain sebagaimana keyakinan yang telah ia dapatkan.

Menghormati Perbedaan
Umat beragama di Indonesia sudah saatnya mampu dan mau untuk membuka pengetahuan dan lapang dada terhadap perbedaan yang muncul. Perbedaan dalam beribadah dan mendekatkan dirinya kepada Tuhan adalah hak pribadi (baca: Hak Asasi Manusia).
Umat beragama sudah selayaknya menghormati perbedaan dan menegakkan kebenaran jika mereka melakukan penyelewengan dari esensi beragama. Ketika mereka melakukan pembunuhan, pengrusakan, dan melakukan tindak-tindakan yang melanggar norma-norma kemanusiaan, maka kebenaran harus ditegakkan. Sebaliknya, jika perbedaan tersebut masih berhubungan dengan metode atau cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan tidak melanggar norma-norma yang ada, maka umat beragama mempunyai kewajiban untuk saling menjaga dan melindunginya.
Ambil contoh, saat Rasulullah Muhammad SAW melakukan dakwah di Madinah. Muhammad melindungi kaum kafir dhimmi dan ahlu kitab (Yahudi dan Nasrani) yang ada di sana. Mereka saling menjaga dan melindungi satu dengan yang lainnya. Mereka tidak diperkenankan untuk saling membunuh dan berperang.
Contoh di atas menunjukkan kepada kita bahwa, perbedaan adalah sebuah keberkahan (rahmat) atau bukti kasih sayang Tuhan kepada manusia.
Pemahaman keagamaan (baca: agama) adalah sebuah kekuatan nyata dalam menunjukkan atau wujud syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan beribadah umat beragama melakukan proses transendensi dan bukti bahwa manusia butuh bantuan dari kekuatan Yang Maha Mutlak (Tuhan).
Bentuk peribadatan, entah itu dengan dua bahasa, nyayian pujian dan meditasi semua itu adalah wujud keberagaman dan kompleknya manusia dalam mewujudkan rasa syukur cinta kepada Tuhannya. Maka tidaklah etis jika bentuk peribadatan yang tidak mengganggu stabilitas sebuah masyarakat dihakimi dan dikafirkan serta disesatkan.
Umat beragama sudah saatnya mengambil peran dalam membangun peradaban yang baru. Umat beragama harus dapat bersatu padu dan satu kata guna membasmi tindak terorisme, korupsi, dan segala bentuk penindasan atas nama kepentingan bersama.
Catatan akhir, pada hakikatnya agama adalah bentuk keyakinan dan kepercayaan akan adanya Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Mutlak dan berkehendak atas diri manusia. Manusia berkewajiban mengucap syukur dan berterima kasih kepada Tuhan, karena Dia telah menghidupkan dan memberikan rizki kepada manusia. Bagimana cara mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih tersebut, kita serahkan sepenuhnya kepada pribadi masing-masing!
Mengutip pendapat Muhammad Sofyan (1999), Agama yang terjebak dalam erat formalisme, dipolitisasi dan ditunggangi oleh pemimpin-pemimpin yang korup, perlu dimurnikan kembali sebagai sebuah ajaran pembawa damai. Lebih lanjut, sempalan keagamaan di luar negeri (Barat) menurut Muhammad Sofyan pada umumnya bersifat resisten terhadap agama formal dan baku. Artinya, ada semacam kritik terhadap agama mapan yang selama ini cenderung kaku, baku dan antikritik. Lebih dari itu agama baku biasanya hanya menjalankan rutinitas keagamaan dan kurang dapat menyentuh persoalan (substansi) agama itu sendiri.
Mari kita mengoreksi bersama proses keberagamaan kita. Jangan-jangan kita termasuk orang yang taqlid dan menerima apa adanya (taken for granted) agama yang kita yakini selama ini. Mungkin apa yang selama ini kita tertawakan—meminjam Jean Baudrillard—adalah sebuah kebenaran.
Allahu a’lam.


*) Benni Setiawan, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, anggota Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.

Mengadili Komunitas Keagamaan?

Mengadili Komunitas Keagamaan?
Oleh Benni Setiawan*)

Bangsa Indonesia kembali dihebohkan dengan aliran “sempalan” keagamaan baru. Komunitas al Qiyadah al Islamiyyah, sekumpulan jamaah yang dipimpin oleh Ahmad Mussadeeq.. Abdus Salam atau Ahmad Mussadeeq mengaku dirinya sebagai nabi baru. Ia mendapatkan wahyu setelah bertapa 40 hari 40 malam di Bogor Jawa Barat. Aliran ini pun mempunyai sahadat yang berbeda dengan apa yang sering diucapkan oleh umat Islam.
Keadaan ini sontak mendapat kecaman keras dari umat Islam dan Majelis Ulama Indonesai (MUI). Bahkan MUI memberi fatwa sesat dan menyesatkan kepada aliran yang konon telah mempunyai anggota lebih dari 50.000 orang.
Sebelumnya, kelompok sejenis juga di fatwa sesat dan menyesatkan oleh MUI. Contohnya, Yusman Roy dengan shalat dua bahasanya, Komunitas Eden, Jamaah Ahmadiyah di Parung Bogor, dan kelompok kultural Madi di Sulawesi.
Pertanyaannya, mengapa kreatifitas keagamaan dan keberagamaan bernasib malang dan tidak diakui keberadaan di Indonesia? Malahan mereka seringkali dianggap melanggar hukum dan harus diproses sesuai dengan produk hukum yang berlaku.
Konsepsi keberagamaan masyarakat Indonesia ternyata masih kaku dan belum mencerminkan realitas masyarakat yang plural dan multikultural. Masyarakat Indonesia masih terpaku pada patron bahwasanya agama yang berlaku di Indonesia hanya lima, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu dan Budha.
Paham keagamaan yang inheren dalam tubuh agama pun masih dilihat yang besar-besar. Dalam Islam misalnya, berbagai paham keagamaan muncul dan berkembang sedemikian rupa, seperti, Muhammadiyah, NU, Persis, Hidayatullah dan seterusnya. Paham keagamaan kecil dan tidak begitu terkenal di anggap menyimpang dari ajaran Islam, apalagi jika beritanya di blow up oleh media secara besar-besaran. Masyarakat muslim Indonesia yang diwakili oleh otoritas MUI belum dapat menerimanya.
Menurut, Amin Abdullah, pluralitas agama yang hidup di Indonesia termasuk di dalamnya keanekaragaman paham keagamaan yang ada di dalam tubuh inheren umat beragama adalah kenyataan historis yang tidak dapat dibantahkan oleh siapapun.
Maka, munculnya komunitas keagamaan baru yang kontrofersial dalam masyarakat adalah sebuah kewajaran yang tidak perlu dibesar-besarkan. Mereka adalah bagian dari keanekaragaman inheren keagamaan yang sangat wajar. Hal ini dikarenakan adanya budaya dan keadaaan yang multikultural dan multireligius di Indonesia.
Banyaknya budaya yang ada di dalam masyarakat Indonesia mendorong seseorang mengekspresikan keagamaanya dengan berbagai cara. Mereka sadar bahwa agama pada dasarnya adalah keyakinan bahwa manusia harus mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Berkuasa dan Berkehendak. Oleh karenanya, bentuk ekspresi keagamaan seseorang tidak boleh diadili atas nama kepercayaan dan keagamaan yang telah ada.
Agama adalah keyakinan yang dipegang erat sebagai bekal dalam kehidupan di dunia dan di akherat. Bentuk atau ekspresi keagamaan yang mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi, Juru Selamat atau bahkan nabi baru merupakan cara mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan pun mungkin tidak akan pernah melihat bagaimana cara umatNya menyembah dan dari mana asalnya. Tuhan hanya melihat bagaimana sikap dan ketulusan dalam menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya (takwa). (Q.S 49:13)
Komunitas keagamaan, menurut pandangan penulis adalah ekspresi keberagamaan seseorang yang didasarkan keyakinan dan keimanan bahwa ada kekuatan yang maha dahsyat di luar manusia, yaitu Tuhan. Ekspresi tersebut juga merupakan bukti penghambaan umat manusia dan pengakuan yang tulus akan keberadaan Tuhan di sisi mereka. Masalah apakah ekspresi ke-Tuhanan tersebut diterima atau ditolak, kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Adil. Dan manusia, yang diberi kelebihan dan kekurangan, sekali lagi tidak sepatutnya mengadili mereka sebagai kelompok sesat. Karena, wewenang mengadili keberagamaan seseorang adalah otoritas Tuhan.
Jika, komunitas keagamaan diadili dan disesatkan, karena cara-cara merekrut anggotanya tak lazim dan konon meresahkan, itu adalah ungkapan sementara yang kebenarannya perlu diuji lebih lanjut. Kita tentunya masih ingat dengan sejarah berdirinya gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah, misalnya, melakukan dakwahnya dengan mendirikan sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan umum dengan kapur tulis dan celana panjang. Konon, hal tesebut adalah perilaku kaum penjajah yang tidak patut ditiru dan diajarkan.
Muhammadiyah juga banyak melakukan lompatan-lompatan yang mengagetkan umat Islam, seperti meluruskan (baca: membenarkan) arah kiblat Masjid Gede Kauman Yogyakarta. Muhammadiyah juga nyeleh dengan menafsirkan ayat-ayat dalam surat al-Maun, menjadi sekolahan, rumah sakit dan panti jompo. Sebuah pemikiran yang maha liberal, dan kala itu, banyak ditentang oleh masyarakat. Bahkan KH Ahmad Dahlan dianggap kafir. Toh pada akhirnya, Muhammadiyah dapat menjadi gerakan keagamaan Islam yang diperhitungkan saat ini.
Mengutip pendapat Buya Syafi’i (cendekiawan muslim, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah), “..jadi sudahlah, semua gerakan pembaruan di manapun di dunia ini pasti dicaci, dikritik, dihujat dan dikafirkan, tapi, diam-diam diikuti, itu sudah menjadi semacam dalil..” (Ahmad Syafi’I Maarif, Jurnal Media Inovasi, 2005).
Bahkan, sempalan keagamaan di luar negeri (Barat) menurut Muhammad Sofyan (1999) pada umumnya bersifat resisten terhadap agama formal dan baku. Artinya, ada semacam kritik terhadap agama mapan yang selama ini cenderung kaku, baku dan antikritik. Lebih dari itu agama baku biasanya hanya menjalankan rutinitas keagamaan dan kurang dapat menyentuh persoalan (substansi) agama itu sendiri.
Sudah saatnya, seluruh komunitas keagamaan bersatu menggalang kekuatan guna menyelesaikan persoalan bangsa yang semakin pelik ini. Seperti korupsi dan kemiskinan.
Persoalan tersebut tampaknya harus menjadi perdebatan panjang dan memunculkan sebuah solusi dan kesepakatan bersama. Perubahan sikap atau paradigma berfikir dari hal yang bersifat rutinitas kepada hal yang subtansial dan menyentuh realitas sosial adalah pekerjaan baru bagi umat beragama di Indonesia.
Umat beragama di Indonesia sudah harus malu dan prihatin terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan, persoalan korupsi dan kemiskinan adalah masalah yang lebih membahayakan daripada mengurusi dan menghukum sesat aliran keagamaan.
Tentunya umat beragama di Indonesia dapat belajar dari Filiphina. Agama di sana menjadi sebuah kekuatan yang “menakutkan” bagi pembuat kebijakan korup, dan konon mempunyai bargaining position yang sangat signifikan dalam negara yang dipimpin oleh Gloria Macapagal Arroyo ini.
Allahu a’lam.

*)Benni Setiawan, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sinergi Gerakan Selamatkan Hutan

Sinergi Gerakan Selamatkan Hutan
Oleh Benni Setiawan*)

Tersangka pembalakan liar (illegal logging) di Sumatera Utara Adelin Lis akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Medan. Adelin tidak terbukti membabat hutan dan merugikan kuangan negara. Adelin yang juga sempat buron pun sekarang dapat menghirup udara bebas.
Keadaan ini memunculkan pertanyaan, mengapa hukum masih saja belum mampu menegakkan keadilan di Indonesia. Pembalak liar kelas kakap dapat bebas tanpa syarat di negeri yang konon menyatakan perang terhadap pembalakan liar.
Padahal dengan rusaknya hutan banjir, tanah longsor dan kekeringan mengancam kehidupan penduduk bumi. Kerusakan hutan pun mengancam ekosistem bumi. Seperti pemanasan global, rusaknya makrokosmos bumi, dan ketimpangan sistem kehidupan makhluk bumi.
Mengapa hukum tidak berdaya menjerat pembalak liar ini? Menurut George Junus Aditjondro (2003), kegagalan pemerintah dalam menegakkan hukum ini dikarenakan pemerintah hanya mengunakan retorika belaka dalam membela kebijakan yang dinilai sudah final. Retorika ini mengambil bentuk yang legalistik, saintifik ataupun primordialistik.
Retorika sebagai keterangan resmi pemerintah yang dimuat pada media massa, tidaklah bebas nilai. Hal ini membutuhkan kecermatan dan kejelian kita dalam menerima informasi tersebut. Untuk kepentingan ini, maka dibutuhkan perangkat analisis media yang lazim disebut analisis framming. Hal ini bertujuan agar kita tidak mudah dibohongi mentah-mentah oleh pemerintah.
Lebih lanjut, George Junus Aditjondro, menyatakan bahwa pers yang terkooptasi (atau dikooptasi) tidak akan pernah menyoroti pihak yang kontra terhadap pemerintah. Kalaupun pers mengkritisi langkah-langkah kebijakan yang diambil, itu pun hanya berhenti pada domain tehnis belaka dan tidak lebih dari itu. Sehingga kritik tersebut tidak menyentuh akar tunggang permasalahan yang sebenarnya.
Pers sebenarnya berposisi dualistis. Di satu sisi pers berkewajiban menyampaikan informasi yang obyektif dan akurat kepada masyarakat, sedangkan pada titik tertentu pers juga memainkan peran propagandanya untuk kepentingan penguasa.
Pernyataan tersebut di atas mengisyaratkan betapa hukum masih saja menjadi “mainan” penguasa dan orang-orang berduit. Hukum masih pandang bulu. Dalam kasus Adelin Lis, pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan sepertinya ada di belakang atau membela Adelin. Menteri Kehutan dengan dalih pemberantasan illegal logging kebablasan membela Adelin Lis mempunyai izin usaha untuk memanfaatkan hutan, bukan membalak hutan.
Jika keadaannya demikian, mungkin bebar temuan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO. FAO menyebutkan bahwa laju penghancuran (deforestasi) hutan di Indonesia tahun 2002-2005 merupakan terbesar dan terparah di dunia. Setiap tahun menurut FAO rata-rata 1,871 juta hektar hutan Indonesia hancur atau 2 persen dari luas hutan yang tersisa pada tahun 2005, yakni 88,495 juta hektar.
Maka guna mengakhiri periode kerusakan lingkungan hidup, beberapa langkah perlu dilakukan. Pertama. menjadikan pers netral. Netralitas pers menjadi kunci kemajuan sebuah bangsa. Hal ini dikarenakan pers merupakan salah satu pilar demokrasi. Ketika pers hanya memberitakan kebaikan pemerintah dan membohongi rakyat dengan data-data fiktif, maka pers akan ditinggalkan oleh masyarakat. Lebih lanjut, pers hanya akan menjadi hantu bagi terciptanya demokrasi di Indonesia.

Sinergi gerakan
Kedua, adanya sinergi antar gerakan aktivis gerakan lingkungan. Selama ini para aktivis yang tergabung dalam kelompok aksi dan advokasi yang juga concern terhadap persoalan kerusakan lingkungan seakan terjebak pula dalam kritik artifisal pada lanskap mikro (tehnis), sebagaimana yang diberitakan pers. Parahnya mereka tidak mampu menjalin sinergitas antara sesama organ pergerakan. Sehingga menjadikan masing-masingnya bergerak sendiri.
Maka pembangunan networking atau kerjasama dan koeksistensi sesama organ baik yang mempunyai bidang gerak yang sama maupun yang berbeda sekalipun menjadi penting. Ambil contoh, organ lingkungan harus memiliki pengetahuan dasar mengenai hukum lingkungan dengan jalan kerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang ada.
Kekerasan fisik yang sering dilakukan oleh aparat pemerintah, yang oleh George Junus Aditjondro disebut ekofasisme, menjadi halangan tersendiri bagi para aktivis dalam menjalankan advokasi. Untuk itu dibutuhkan tidak hanya sekadar nyali atau keberanian konyol saja. Lebih dari itu adalah pengetahuan dasar tentang hukum dan kondisi faktual di lapangan.
Pemerintah sudah saatnya bangun dari tidur lelap mengenai kerusakan lingkungan. Sebagai pemegang otoritas negara, pemerintah tentunya tidak mau melihat rakyatnya menderita akibat rusaknya lingkungan. Lebih lanjut, pemerintah sudah saatnya berani mengambil langkah tegas menghentikan pembalakan liar dengan menghukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kelalaian pemerintah dalam mengurus dan memelihara lingkungan hidup menjadi pertanda kiamat bagi bangsa ini. Artinya, tidak seimbangnya makarokosmos bumi Indonesia akan mengakibatkan bencana, yang pada akhirnya merugikan rakyat.

*)Benni Setiawan, Dosen Universitas Muhammadiyah Jember.

Berbenah Menuju Wajib Belajar 12 Tahun

Berbenah Menuju Wajib Belajar 12 Tahun
Oleh: Benni Setiawan*)

Rencana wajib belajar (wajar) 12 tahun di Jawa Timur mendapat sambutan kurang positif. Hal ini tercermin dari pernyataan Ketua Komisi IX DPR RI, Heri Akhmadi. Menurut Heri, sampai saat ini wajar sembilan tahun di Jawa Timur belum sepenuhnya tuntas. Bahkan, penyelenggaraannya belum sepenuhnya sesuai amanah undang-undang.
Di lain pihak, menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur Rasiyo, wajar sembilan tahun di Jatim dapat dikatakan tuntas. Hal ini dikarenakan, angka partisipasi kotor (APK) wajar sembilan tahun Jatim di atas 95 persen. Hal ini sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
Pertanyaannya, bagaimana menengahi atau mencari solusi agar cita-cita mulia wajar 12 tahun dapat terealisasi?

Amanah UUD
Wajar 12 tahun adalah cita-cita mulia yang sangat sesuai dengan amanah UUD 1945. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa, pendidikan adalah hak segala bangsa dan pemerintah berkewajiban menyediakannya untuk kemakmuran bangsa. Lebih lanjut, UUD 1945 mengamanahkan untuk memberikan porsi lebih kepada bidang pendidikan dalam pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN) sekurang-kurangnya 20 persen.
Akan tetapi, anggaran pendidikan pada tahun anggaran 2008 ditetapkan hanya Rp 48,3 triliun, atau 5,7 persen dari total belanja pemerintah yang sebesar Rp 836 triliun. Angka ini hampir mendekati anggaran untuk pemilu 2009 sebesar 42 triliun.
Anggaran yang sangat kecil ini tentu tidak mencukupi untuk mewujudkan wajar 12 tahun. Dan hal ini semakin menambah bukti pemerintahan sekarang tidak peduli pada nasib anak bangsa. Lebih lanjut, pemerintah telah melalaikan amanah UUD 1945.
Wajar 12 tahun adalah hak setiap warga negara. Hal ini dikarenakan, pendidikan adalah pintu menuju kesejahteraan. Pendidikan juga dapat mengentaskan manusia dari kebodohan dan ketidakadilan.

Amanah kemanusiaan
Pendidikan merupakan aset bangsa yang harus segera diselamatkan. Artinya, pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah seutuhnya, melainkan segenap warga negara Indonesia. Peran serta masyarakat dalam menciptakan tatanan pendidikan yang mendidik dan mandiri menjadi tolok ukur keberhasilan bangsa dalam mengembang amanah kemanusiaan.

Belajar dari Kabupaten Jembrana
Beberapa hal yang perlu dipersiapkan atau dibenahi sebelum mewujudkan wajar 12 tahun adalah;
Pertama, pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam APBD. Pemerintah daerah tentunya tidak perlu meniru kelalaian pemerintah pusat. Pemerintah daerah perlu belajar dari pemerintah daerah Kabupaten Jembrana Bali.
Meskipun pendapatan asli daerah (PAD) Jembrana saat ini masih tergolong kecil yaitu Rp 14 miliar dan APDB sebesar Rp 400 miliar, namun pemerintah daerah mampu memberikan pelayanan maksimal kepada warganya berupa pendidikan gratis hingga sekolah menengah atas (SMA). Masyarakat pun juga mendapatkan asuransi kesehatan untuk rawat jalan.
Salah satu kunci keberhasilan Pemerintah Daerah Jembrana adalah dengan memangkas anggaran mobil dinas anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Setiap anggota DPRD yang ingin menggunakan alat transportasi darat ini harus menyewa. Hal ini dikarenakan, banyak mobil dinas yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat seringkali digunakan secara pribadi oleh anggota DPRD.
Mereka pun tidak segan untuk meminta uang bensin dan perawatan mobil dinas ke kas daerah. Ironisnya, seringkali mobil dinas pada masa akhir jabatan tidak dikembali kepada kas daerah, melainkan menjadi hak milik pribadi anggota DPRD. Atas dasar itulah, Bupati Jembrana Prof Dr drg I Gede Winasa mencabut anggaran mobil dinas untuk dialihkan pada sektor pendidikan. (Benni Setiawan, Surya, 11/09/2007).
Kedua, melibatkan organisasi sosial keagamaan. Sebagaimana kita ketahui bersama, Muhammadiyah dan NU mempunyai aset pendidikan dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT).
Muhammadiyah dan NU dapat mendukung program ini melalui Majelis Pendidikan yang ada dalam setiap Pimpinan Cabang atau Pimpinan Daerah (Kabupaten). Majelis ini dapat bekerja sama dengan pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan arti penting pendidikan.
Sarana pendidikan yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan NU berupa gedung sekolah, tentunya merupakan aset yang cukup besar guna mendukung jalannya wajar 12 tahun. Dengan demikian, program ini tidak hanya menjadi milik pemerintah saja, melainkan program semua elemen bangsa guna mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, adalah peran serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM dapat menjalankan fungsinya untuk mengontrol jalannya wajar 12 tahun. Hal ini diperlukan guna menjamin transparansi dan keberhasilan menjalan program yang memakan biaya yang tidak sedikit.
Dengan demikian, wajar 12 tahun bukan hanya sekadar wacana, melainkan menjadi sebuah kekuatan atau potensi yang dapat mendorong terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Masyarakat yang mampu mendayagunakan segala potensi untuk tetap ada sebagai manusia.
Pada akhirnya, peran serta semua pihak dalam mendukung program wajar 12 tahun sangat diperlukan. Tanpa peran serta dan kesadaran masyarakat untuk mendorong keluarganya untuk berpendidikan (sekolah), program ini hanya akan digunakan ajang legitimasi pemerintah atau bahkan lahan korupsi baru.

*)Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia.

Gerakan Gemar Membaca dan Menulis

Gerakan Gemar Membaca dan Menulis
Oleh: Benni Setiawan*)

Maraknya jasa pembuatan skripsi, tesis dan bahkan disertasi menambah deretan buramnya potret pendidikan di Indonesia. Pembuatan skripsi berkedok jasa, beberapa waktu lalu pernah diungkap dalam sebuah acara di stasiun televisi swasta. Ironisnya, jasa pembuatan skripsi, tak ubahnya seperti perjanjian jual beli barang, yang memerlukan berbagai syarat.
Ironisnya, jasa pembuatan skripsi justru tumbuh subur di kota-kota yang konon dinyatakan sebagai kota pelajar. Seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, Jember, Bandung dan seterusnya. Jasa ini lebih “fulgar” dalam menawarkan jasanya dengan menempel papa nama dan spanduk di pohon-pohon dan di tepi jalan. Bahkan, di Yogjakarta, hal ini seringkali dikeluhkan oleh warga sekitar. Hal ini dikarenakan menganggu atau memperburuk citra kota pendidikan.
Jasa pembuatan skripsi ini lahir atas dasar permintaan. Dalam teori ekonomi, permintaan akan sebanding, seimbang atau berbanding lurus dengan penyediaan barang atau jasa. Tumbuh suburnya jasa pembuatan skripsi seakan menunjukkan lemahnya mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa.
Mahasiswa tidak lagi mempunyai kemandirian atau rasa percaya diri untuk membuat skripsi dari hasil jerih payahnya sendiri. Mereka tidak mau bersusah payah membaca dan mengalisis bahan atau data. Hal ini dikarenakan, banyaknya kemudahan yang diberikan oleh jasa pembuatan skripsi. Dengan cukup membayar satu hingga dua juta rupiah, skripsi telah jadi. Ia tinggal duduk manis, bermain dan menikmati dunia gemerlap saat menjadi mahasiswa.
Maraknya jasa pembuatan skripsi adalah bukti nyata degradasi moral bangsa. Artinya, mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa tidak lagi doyan membaca dan menulis. Aktifitas membuat tugas akhir atau skripsi adalah menulis. Menulis harus didahului oleh aktifitas membaca. Tanpa membaca, seseorang akan kesulitan dalam merangkai kata-kata menjadi kata baru yang lebih bermakna.
Hilangnya budaya menulis berkaitan erat dengan budaya membaca. Hal ini dikarenakan, membaca dan menulis adalah aktifitas yang saling berkaitan erat.
Mahasiswa di zaman sekarang ini lebih banyak melakukan aktifitas-aktifitas yang kurang bermanfaat. Contohnya, hura-hura dan banyak menghabiskan waktunya di mall dan klub-klub malam. Pemikiran bahwa mahasiswa adalah golongan elit bangsa Indonesia dijadikan alasan untuk bersenang-senang di masa muda.
Keadaan ini semakin diperparah oleh rendahnya budaya mengerjakan tugas kuliah. Jika, dalam sebuah mata kuliah ada tugas membuat makalah kelompok misalnya, kebanyakan mahasiswa saling melempar tugas. Artinya, memberikan tugas kelompok kepada salah satu orang dalam kelompoknya. Atau dengan pembagian, A mencari buku-buku bahan referensi, B mengerjakan, C mengetik makalah, D memfoto copy, E moderator dalam penyampaian makalah, dan setersunya.
Mereka tidak menyediakan waktu untuk sekadar berdiskusi agar hasil makalahnya menjadi lebih baik. Mereka sekali lagi, lebih banyak disibukkan oleh hal-hal yang kurang bermanfaat dan menyepelekan tugas-tugas tersebut.
Mahasiswa juga masih banyak yang binggung mengenai bagaimana membuat makalah yang baik. Hal ini diperparah oleh tenaga pengajar (Dosen) yang acuh tak acuh. Dosen seringkali tidak memberikan pengarahan terlebih dahulu mengenai apa itu makalah, bagaimana cara membuatnya, apa fungsi footnote, bodynote, endnoot dan seterusnya. Mahasiswa pun tidak punya banyak inisiatif untuk bertanya atau membaca buku mengenai hal tersebut.
Keadaaan yang demikian akan berpengaruh pada hasil akhir studi mahasiswa. Di awal studinya, mahasiswa sudah tidak paham tentang bagaimana membuat makalah, tidak banyak membaca buku, tidak banyak pergaulan dalam diskusi dan seterusnya. Maka, pada akhir studi, mereka mencari jalan pintas untuk menyelesaikan tugas akhirnya (skripsi) dengan mempergunakan jasa pembuatan skripsi.
Jasa pembuatan skripsi adalah cerminan ketidakberdayaan mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa. Mahasiswa lebih banyak disibukkan dengan hal-hal yang kurang bermanfaat. Meninggalkan budaya membaca dan menulis.
Maka tidaklah keliru jika lulusan Perguruan Tinggi Indonesia begitu memprihatinkan. Lulusan PT (Strata satu) pada tahun 2005, sebanyak 385.418 menjadi pengangguran terbuka. Mungkin salah satu penyebabnya adalah hilangkan kemandirian mahasiswa untuk berkreatifitas dengan banyak membaca dan menulis.
Guna menyelesaikan persoalan tersebut di atas, sekiranya, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Jember, dan Bandung sebagai penyandang predikat kota pendidikan memprakarsai adanya budaya gemar membaca dan menulis. Budaya membaca dan menulis dapat disosialisasikan mulai dari lingkungan keluarga. Hendaknya di setiap keluarga, ada sebuah ruangan khusus untuk menyediakan buku-buku dan koran yang diletakkan di sebuah tempat khusus pula, sehingga memudahkan untuk diambil dan dibaca.
Mengenalkan sejak dini budaya membaca ini tentunya akan merangsang anak untuk selalu menyimak dan mengikuti perkembangan berita dan pemikiran. Dengan demikian, ketika ia sudah masuk ke jenjang yang lebih tinggi tidak gagap lagi dengan perkembangan tehnologi informasi.
Selanjutnya adalah lingkungan sekolah yang kondusif. Artinya, setiap anggota masyarakat sekolah, hendaknya mengedepankan aspek atau budaya membaca di lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggairahkan kembali perpustakaan sebagai tempat yang nyaman untuk belajar di waktu istirahat.
Kebanyakan perpustakaan yang ada di sekolah, seringkali hanya dijadikan ajang atau tempat mengukum bagi peserta didik yang terlambat dan melanggar peraturan sekolah lainnya. Peserta didik yang terlambat dimasukkan ke ruang perpustakaan untuk dihukum dan diberi nasehat oleh guru bimbingan konseling (BK).
Parahnya, di sekolah-sekolah yang belum terkondisi budaya membacanya, seringkali ditemui banyaknya buku-buku yang mulai menguning, dimakan rayap, rusak dan tidak teratur. Tidak adanya penjaga perpustakaan menambah semakin tidak nyamannya kondisi perpustakaan.
Perpustkaan hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku paket yang dibagikan setiap tahun kepada peserta didik. Bahkan pintu perpustakaan seringkali tertutup rapat dan dikunci karena tidak ada pengunjung.
Guru-guru di sekolah hendaknya mengajarkan dan merangsang peserta didiknya untuk belajar membaca dan menulis. Hal yang dapat dilakukan adalah, guru memberi tugas kepada peserta didik untuk membaca sebuah buku dan merangkumnya atau menilai buku tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik.
Hal ini terutama dapat dilakukan oleh guru bahasa Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, guru bahasa Indonesia seringkali mengajarkan peserta didiknya hal-hal yang sebenarnya sudah dipahami oleh peserta didiknya. Maka tidak aneh, jika banyak kritik yang dilayangkan kepada guru bahasa Indonesia, bahwa guru bahasa Indonesia hanya mengajarkan bahasa yang sehari-hari sudah dipelajari dari orangtuanya. Guru bahasa Indonesia miskin strategi pembelajaran, sehingga peserta didik semakin tidak paham dan jauh dari karya sastra bahasa Indonesia.
Murid-murid SD-SMA sekarang sudah tidak lagi mengenai siapa Sutan Takdir Ali Syahbana, HAMKA dan karya-karyanya. Mereka lebih mengenai tokoh-tokoh seperti Sinchan, Conan dan tokoh komik lainnya. Karya sastra pujangga Indonesia hanya menjadi sekadar soal ujian yang dihafal tanpa dipelajari dan diambil pelajaran (petuah bijaknya).
Dengan memberi tugas untuk mencari dan membaca buku-buku dan menuliskannya kembali akan dapat melatih peserta didik kreatif.
Pihak yang seharusnya memulai untuk melakukan gerakan gemar membaca dan menulis selanjutnya adalah masyarakat. Di beberapa wilayah kota dan pelosok desa di kota-kota pendidikan, banyak ditemuai papan koran umum dan mading. Dengan bekal ini masyarakat hendaknya memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Membaca koran harian dan mencoba menuliskannya kembali dan di tempel di mading akan menjadi nilai tersendiri.
Ketika gerakan membaca dan menulis sudah terkondisi sedemikian rupa, maka plagiator dan atau jasa pembuatan skripsi yang membodohkan masyarakat dapat kita cegah sejak dini. Gerakan membaca dan menulis juga akan mendorong terciptanya masyarakat yang kritis dan terdidik.
Lebih dari itu, gerakan ini akan mendukung program pemerintah untuk membebaskan masyarakat Indonesia dari buta aksara sebelum tahun 2010. Sehingga dapat memenuhi target Millinium Development Goal (MDGs) sebelum 2015. Semoga.

*) Benni Setiawan, Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia dan Pendidik di Universitas Muhammadiyah Jember.

Kampanye Naik Angkutan Umum

Kampanye Naik Angkutan Umum
Oleh Benni Setiawan*)

Akhir-akhir ini warga Jakarta disibukkan dengan persoalan kemacetan. Hampir tidak ada sejengkal jalan yang bebas dari kemacetan. Bahkan akibat kemacetan, menurut data Kompas (Selasa, 5/11/2007), telah menimbulkan kerugian materiil sebesar 42 triliun rupiah.
Beberapa hal yang menyebabkan kemacetan di jalan-jalan Jakarta adalah: pertama, belum rampungnya proyek bus way. Proyek bus way yang menggunakan sebagian badan jalan tentunya semakin membuat sesak dan penuhnya jalan.
Kedua, semakin meningkatnya jumlah kendaraan pribadi di Ibu Kota. Lebih dari 1,4 juta per hari kendaraan melintas di jalan-jalan ibu kota. Hal ini tidak sebanding dengan fasilitas jalan yang semakin menyusut akibat proyek bus way dan pedagang kaki lima yang memenuhi badan jalan.
Ketiga, kurang disiplinnya pengguna jalan. Pengguna jalan seringkali mengambil jalan pintas dengan mendahului kendaraan lain. Sehingga kendaraan lain tidak dapat melaju akibat tidak teraturnya pengguna jalan.
Beberapa hal tersebut di atas sudah saatnya diakhiri. Artinya, harus ada solusi jitu dalam waktu dekat agar kemacetan di ibu kota tidak semakin membuat stess warga. Salah satunya dengan kesadaraan untuk naik angkutan umum.
Rencana pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk membangun bus way hingga sepuluh koridor haruslah didukung oleh masyarakat. Artinya, masyarakat yang ingin pergi ke kantor atau aktivitas lain dapat menggunakan jasa anggutan ini.
Menggunakan jasa angkutan umum selain dapat mengurangi jumlah kendaraan yang lalu lalang di ibu kota juga dapat menghemat pemakaian bahan bakar minyak (BBM). Di tengah semakin mahalnya harga minyak dunia, menggunakan jasa angkutan umum setidaknya mampu menghemat persediaan minyak bumi yang semakin menipis. Lebih dari itu dapat mengurangi dampak kemacetan di Jakarta.
Ketika masyarakat sudah sadar akan arti penting angkutan umum sebagai sarana transportasi alternatif, pemerintah tampaknya perlu memikirkan bagaimana agar angkutan umum dapat memberikan pelayanan yang memuaskan untuk pelanggannya. Sebagaimana kita ketahui bersama, angkutan umum di Jakarta tidak dapat lepas dari tindak kriminalitas. Hal ini tentunya akan mengurangi kenyamanan berkendara umum.
Penyediaan aparat di angkutan umum dan peraturan yang mendukung lainnya akan dapat mengurangi dampak kemacetan di ibu kota.
Pada akhirnya, dengan semakin banyaknya warga ibu kota menggunakan angkutan umum, kemacetan di ibu kota akan dapat dikurangi dan bahkan di cegah.

*)Benni Setiawan, Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera.