Sabtu, 30 Desember 2006

Ketika Peserta Didik Kesurupan

Jumat, 24 Maret 2006
Republika
Ketika Peserta Didik Kesurupan
Benni Setiawan
Penulis Buku Manifesto Pendidikan Indonesia
Sungguh ironis dunia pendidikan Indonesia. Setelah merebaknya bunuh diri peserta didik dan unjuk rasa ribuan guru menuntut kesejahteraan, kini kembali peserta didik menjadi korban. Baru-baru ini, di berbagai wilayah Indonesia, peserta didik diberitakan kesurupan.
Peserta didik kesurupan terjadi di Yogyakarta, 6 Maret 2006; Madura, awal Februari; dan pertengahan Maret lalu, puluhan peserta didik di Surabaya dan Banjarmasin mendadak kejang-kejang, konon katanya kesurupan.
Keadaan tersebut di atas sungguh kurang dapat diterima oleh akal sehat. Artinya, peserta didik yang dididik berdasarkan ilmu pengetahuan dengan berbagai ragam teori yang dapat dipertanggung jawabkan secara moral, menjadi ''bulan-bulanan'' makhluk halus. Menariknya, fenomena kesurupan ini justru menjelang dan saat diadakan ujian tengah semester atau ulangan harian. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ada apa dibalik kesurupan peserta didik?
TekananKesurupan dapat terjadi ketika pikiran kosong dan keadaan peserta didik yang kurang baik. Kesurupan bisa terjadi atau disebabkan adanya makhluk halus yang masuk. Kesurupan bisa juga datang ketika banyak melamun atau karena banyak tekanan dari luar maupun dari dalam diri.
Menurut Dr Dadang Hawari sebagaimana dikutip oleh Republika, 23 Maret 2006, mengatakan kesurupan adalah reaksi kejiwaaan yang dinamakan desosiasi. Reaksi itu mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk menyadari realitas sekitarnya, disebabkan tekanan fisik maupun mental.
Tekanan berupa dari dalam bisa disebabkan banyaknya persoalan dalam rumah tangga yang menjadi beban pikiran. Lainnya persoalan ekonomi keluarga dan kurang pergaulan, sehingga waktunya banyak dihabiskan untuk melamun dan seterusnya.
Tekanan dari luar, seperti banyaknya beban pelajaran yang harus diselesaikan berdasarkan tenggang waktu yang tersedia. Hal ini banyak dikeluhkan dan dikritik oleh pakar pendidikan. Beban mata pelajaran di Indonesia melebihi kapasitas dan kewajaran. Beban mata pelajaran di Indonesia setiap pekan lebih dari 48 jam. Hal ini jauh jika dibandingkan mata pelajaran yang ada di luar negeri: sekitar 22 jam per pekan.
Beban berat mata pelajaran ini masih ditambah dengan program les (jam tambahan) yang diadakan sekolah dan sistem sekolah sehari penuh. Peserta didik juga semakin tertekan oleh keadaan sekitar yang kurang mendukung. Seperti teman-teman yang kurang baik, guru yang kurang responsif, keadaan sekolah yang kotor, dan seterusnya.
SinetronTekanan dari luar juga dapat berbentuk maraknya tayangan sinetron yang mengklaim dirinya religius. Tayangan ini telah banyak mempengaruhi masyarakat Indonesia dalam pola pikir dan tingkah laku. Bahkan beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah surat pembaca di sebuah harian nasional dinyatakan bahwa seorang anak kecil berumur lima tahun merasa ketakutan oleh suara atau bunyi lagu soundtrack yang mengiringi tayangan tersebut. Sungguh keadaan yang menyedihkan.
Lebih lanjut, tayangan ini telah merasuk dalm pikiran dan jiwa masyarakat Indonesia, sehingga setiap kejadian yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan pikiran yang akademis dan logis, menjadi sebuah perkara yang selalu disandingkan dengan peristiwa mistik atau klenik.
Faktor-faktor tersebut di atas sudah seharusnya disadari oleh pihak-pihak yang terkait dalam dunia pendidikan. Peristiwa kesurupan sudah saatnya dijelaskan atau diurai secara ilmiah, bukan dengan pendekatan mistik atau klenik. Guna mengurangi atau setidaknya menekan keadaan ini, beberapa hal yang perla dilakukan adalah: pertama, kesediaan dan kerelaan guru membimbing dan mengarahkan peserta didik dengan kasih sayang.
Guru adalah orang tua kedua bagi peserta didik. Dengan demikian, menjadi tugas guru untuk selalu memperhatikan perkembangan setiap peserta didik. Mungkin yang lebih dapat berperan dalam masalah ini adalah guru wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK). Hal ini dikarenakan mereka lebih banyak bersinggungan atau bertatap muka dengan peserta didik.
Mendidik dengan kasih sayang akan dapat menghasilkan peserta didik yang mampu bertanggung jawab. Artinya, peserta didik akan mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Dengan demikian, ia akan merasa senang dan bahagia dengan apa yang telah diperbuatnya.
Kedua, peran orang tua. Orang tua wajib mengingatkan atau mendampingi anak-anaknya dalam setiap kesempatan. Artinya, ketika di berbagai tayangan televisi sudah tidak lagi menyuguhkan hal-hal yang mendidik, menjadi kewajiban orang tua untuk mendampingi dan kalau perlu mengingatkannya. Proses pendampingan dan tegur sapa ini akan semakin mendekatkan peserta didik dengan orang tuanya. Dengan demikian, peserta didik merasa diperhatikan dan mempunyai teman untuk berkeluh kesah.
Pada akhirnya, fenomena kesurupan yang melanda dunia pendidikan kita, pada dasarnya bukan hanya karena ''faktor X'' saja. Fenomena ini adalah kejadian yang biasa terjadi. Maka dari itu, fenomena kesurupan sudah saatnya diselesaikan dengan pendekatan pedagogis (pendidikan), bukan dengan mistik atau klenik. ( )